Minggu, 02 November 2008

Menimba Ilmu Dunia-Akhirat

Sejumlah sekolah dakwah tak sekadar memberikan ilmu keagamaan. Para muridnya diberi pula wawasan ilmu di bidang lainnya, sehingga bisa menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.

Tak banyak ustadzah seperti Ibu Atikah. Perempuan paruh baya itu memiliki banyak majelis taklim, yang tersebar di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Selain sibuk mengisi pengajian di sejumlah majelis taklim itu, ia juga mesti terus menambah ilmu keagamaan untuk memperluas wawasan rohani jemaah pengajiannya. Itu sebabnya, ia mau repot-repot meluangkan tiga hari dalam sepekan belajar ilmu dakwah.

Ibu Atikah memilih belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosat Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan. Jadilah dia berbaur dengan mahasiswa perguruan tinggi dakwah itu, yang sebagian besar sudah bekerja atau sudah menjadi pembimbing rohani di majelis taklim seperti dia. Ada pula beberapa yang baru lulus sekolah menengah atas atau menamatkan pendidikan di pesantren.

Motivasi mereka masuk sekolah dakwah boleh dibilang hampir sama: ingin menambah wawasan di bidang ilmu keagamaan. Paling tidak, buat diri mereka sendiri, seperti Maulfi Sanaullah. Lulusan sebuah pesantren di Sumenep, Madura, Jawa Timur, itu merasa perlu menimba ilmu agama karena ilmunya merasa masih kurang. Menurut dia, tujuan menimba ilmu di sana untuk menyeimbangkan cita-citanya menjadi pengusaha. “Selain ilmu duniawi, rohani juga perlu kan?” katanya.

Maulfi juga memilih belajar di sekolah tinggi itu karena ada tambahan ilmu di bidang lainnya. Mahasiswa yang kini duduk di semester tujuh itu merasakan betapa wawasan ilmu bisnisnya bertambah setelah beberapa bulan menjalani kuliah kerja nyata di perkebunan jamur di Bekasi, Jawa Barat. Sejak itu pula ia pun tertarik menjadi pengusaha jamur. “Lulus dari sini, ilmu rohani saya bertambah, saya juga mendapat wawasan bisnis dan bisa mengajak masyarakat berkebun jamur,” ujarnya, semringah.

Memang, selama ini sekolah dakwah dianggap hanya mengajarkan dakwah dan ilmu agama. Stereotipe itu diakui Ketua Sekolah Tinggi Dakwah Al-Hikmah Ahmad Rofi Syamsuri. Menurut dia, anggapan itulah yang membuat sekolah dakwah stagnan dan jarang peminatnya. “Malah sejak 1990, yang masuk ke sekolahnya cenderung berkurang,” katanya. “Menurunnya peminat sekolah dakwah terjadi terutama sejak krisis ekonomi 1997.”

Malah, Syamsuri melanjutkan, saat ini banyak sekolah dakwah yang sudah tutup. Sekarang, punya murid 20 orang dalam satu kelas saja sudah bagus. “Kondisi itu umumnya terjadi di luar Jawa, meski di Jakarta juga ada yang mengalami hal itu,” ia menjelaskan.

Masih kata Syamsuri, kondisi itu masih terbilang wajar. Meski krisis datang silih berganti mendera Indonesia, sekolah dakwah tak akan benar-benar hilang. “Biar bagaimanapun, orang Indonesia itu religius,” ujarnya.

Dari sekian sekolah dakwah yang bertahan, menurut Syamsuri, akhirnya menjadi tempat memperdalam ilmu agama untuk diri sendiri, keluarga, atau lingkungan kerja. Makanya, kelas di sekolah dakwah Al-Hikmah dipenuhi orang-orang yang sudah bekerja atau sudah menjadi tokoh di majelis taklim dan seksi bidang rohani di kantornya. “Mungkin untuk mencari ketenangan jiwa saat bekerja,” katanya.

Boleh dibilang, mencari ketenangan dan keseimbangan hidup dunia-akhirat itulah yang acap kali menjadi alasan mereka yang sudah bekerja memperdalam ilmu agama di sekolah dakwah. Ristono, misalnya, masuk Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Manar, Utan Kayu, Jakarta Timur, karena merasa ilmu agamanya masih kurang buat dirinya. Karyawan sebuah perusahaan swasta itu akan menghabiskan waktu sekitar empat tahun menimba ilmu di sekolah itu. “Ya, ingin dapat ilmu dunia-akhiratlah,” ujarnya, tersenyum..

Menurut Direktur Al-Manar Abdul Muyassir, lulusan sekolahnya bisa menjadi pengajar rohani atau pengurus bidang rohani di tempat mereka bekerja. Apalagi, belakangan ini banyak perusahaan yang menginginkan membina seksi rohaninya secara serius. Itu terbukti dengan lembaganya yang menjalin kerja sama dengan sekitar 50 perusahaan, antara lain, Astra dan United Tractor.

Kenyataan itu, tutur Muyassir, menunjukkan bukannya orang malas belajar agama, melainkan yang mengajarnya memang belum cukup. Apalagi di DKI Jakarta hanya ada segelintir orang yang bekerja di pemerintahan bisa memberikan siraman rohani. “Saya berharap alumni sekolah kami bisa mengisi itu nantinya,” katanya.

Untuk itu, Muyassir melanjutkan, sekolahnya tak hanya belajar teori di kelas. Para muridnya juga belajar praktek di lapangan, misalnya mengajarkan siswa bisa tepat waktu menjalankan salat lima waktu di tengah ritme kerja mereka yang sibuk. “Esensinya adalah niat untuk salat tepat waktu, meskipun prakteknya sering kali tak memungkinkan,” katanya.

diambil dari YOPHIANDI KURNIAWAN-koran tempo

Tidak ada komentar: