Kamis, 05 November 2009

Biogas Kotoran Manusia Terus Dikembangkan

WONOSARI, KOMPAS.com- Biogas dari kotoran manusia terus dikembangkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Setelah sebelumnya memasang instalasi pengolahan biogas di bantaran Kali Besole, Kementerian Lingkungan Hidup membangun instalasi yang sama di Pondok Pesantren Darul Quran.

Pembangunan instalasi biogas di pesantren ini berpotensi menciptakan ekopesantren atau pesantren berwawasan lingkungan.

Ketua Pondok Pesantren Darul Quran Ahmad Haris Masduki mengatakan akan menularkan teknologi pengolahan limbah ini ke pondok pesantren lain pada forum ekopesantren yang akan digelar di Yogyakarta, Rabu (4/11). "Pengolahan limbah menjadi biogas mampu menciptakan pondok pesantren yang ramah lingkungan atau ekopesantren," ujar Haris, Minggu (1/11).

Teknologi pengolahan limbah kotoran manusia yang baru satu bulan terakhir dipasang di Pondok Pesantren Darul Quran ini diadopsi dari Jerman melalui Bremen Overseas Research and Development Association. Dengan mengolah kotoran manusia, pengelola pondok pesantren bisa menghemat pengeluaran uang untuk pembelian bahan bakar hingga Rp 2,5 juta per bulan.

Limbah cair dari instalasi pengolahan biogas juga bisa dimanfaatkan bagi pertanian. Dari lahan seluas 1.500 meter persegi, para santri bisa memanen aneka sayuran dengan nilai jual hingga Rp 1,6 juta per bulan. "Keuntungan ekonomi hanya efek samping. Yang terpenting limbah tak lagi menjadi masalah, tetapi justru bermanfaat," tambah Haris.

Santri di Pondok Pesantren Darul Quran, Muhtasin, mengaku, awalnya dia dan sekitar 400 santri lainnya merasa jijik untuk memanfaatkan biogas dari kotoran manusia. Dia dan rekan-rekannya mulai terbiasa memanfaatkan biogas setelah mencicipi rasa masakan yang tidak berbeda dengan menggunakan bahan bakar jenis lain.

Sebelum mengenal pengolahan biogas, limbah dari pondok pesantren hanya dibuang ke areal persawahan sehingga mencemari lingkungan. Lewat pengolahan limbah tersebut, para santri juga diajak untuk menjaga kelestarian lingkungan. Ke depannya, pengelola pondok pesantren berharap bisa memanfaatkan olahan limbah kotoran manusia ini sebagai bahan baku pupuk.

Sejak Desember lalu, warga di pinggiran Kali Besole, Gunung Kidul, juga telah memanfaatkan gas dari kotoran manusia sebagai bahan bakar. Pemerintah memperbaiki toilet warga yang hidup berdesakan di pinggir kali dan menampung seluruh kotoran dari tujuh rumah. Gas dari kotoran tersebut baru bisa dimanfaatkan oleh 13 orang dari dua keluarga.

Kamis, 29 Oktober 2009

Hebat... Bakteri Bisa Hasilkan Listrik

Liputan6.com, New York: Isu energi memang tak pernah habis. Isu ini menjadi makin santer lantaran dunia membutuhkan energi yang besar sekaligus bersih. Untuk itulah beberapa inovasi coba dikembangkan. Salah satu inovasi yang tak kalah hebat adalah pengembangan bakteri sebagai penghasil listrik..

Gagasan ini bermula dari fakta bahwa limbah banyak mengandung gula sehingga memiliki potensi listrik. Hal ini membuat ilmuwan tertarik untuk mengolah air limbah menjadi listrik. Untuk membuat potensi itu dapat diwujudkan, tentunya dibutuhkan bakteri.

Bruce Logan, peneliti dari Universitas Penn State, Amerika Serika memilih bakteri geobakter untuk melakukan tugas tersebut. Bakteri ini dipilih karena mampu memproses material organik dan kemudian mengubahnya menjadi elektron. "Bahkan geobakter mampu memproses polutan seperti aromatic hydrocarbon hingga 90 persen guna memperoleh elektron," ujar Logan seperti dikutip Livescience.

Kondisi ini tentunya memberikan nilai tambah tersendiri. Logan mengatakan bakteri juga mampu memproses bahan kimia yang ada pada lumpur dasar laut menjadi listrik. Bahkan energi yang dihasilkan bisa mencapai dua kali lipat dari proses biasa. Ini memberikan harapan bakteri dapat menjadi penopang sumber penghasil listrik masa depan.

Namun kendala yang dihadapi tetap ada. Air limbah yang akan diolah bakteri menjadi listrik biasanya belum dapat memenuhi angka kebutuhan. Bahkan jika limbah hewan, makanan, dan cair dijadikan satu dan diolah menjadi listrik ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan energi negara besar seperti Amerika Serikat meski hanya setengahnya.

Meski begitu, bukan berarti teknologi ini tidak menjanjikan. Walau belum dapat memenuhi kebutuhan negara besar, teknologi ini setidaknya mampu mengurangi ketergantungan akan energi fosil yang makin menyusut dan memberi dampak buruk bagi lingkungan.(AND)

Selasa, 27 Oktober 2009

Kutub Bakal Tak Punya Es

Artikel Terkait:

* Es Kutub Utara Kondisinya Sangat Mengkawatirkan
* Bumi "Menangis" di Lapisan Es Norwegia
* 42 Persen Lapisan Es Kutub Utara Juga Hilang
* Hati-hati 75 Persen Es Kutub Selatan Sudah Hilang
* Es Sebesar New York Lepas dari Beting

Senin, 19 Oktober 2009 | 07:38 WIB

KOMPAS.com — Para peneliti meramalkan, Laut Artik (kutub) akan bebas es pada musim panas dalam satu dekade mendatang. Setelah musim semi berlalu, para peneliti kembali mengukur ketebalan es sepanjang 450 kilometer dengan rute menyeberangi Laut Beaufort. Mereka menemukan sebagian besar es sangat tipis.

Pemimpin ekspedisi dan pakar es lautan dari University of Cambridge, Peter Wadhams, mengatakan, pada musim semi tahun lalu rata-rata ketebalan es hanya 1,8 meter, menandakan usia lapisan itu sekitar satu tahun. Sementara itu, es yang sudah bertahun-tahun sekitar 3 meter.

Tipisnya lapisan tersebut menjadi indikasi penting kondisi memprihatinkan es di Laut Artik. ”Secara sederhana, es tipis itu akan sekejap hilang pada musim es mulai meleleh,” ujarnya. Angin dan arus laut dapat pula memecah es yang tipis itu. Es yang terpecah dan mengapung bebas akan mudah terdorong ke wilayah perairan yang lebih hangat dan mencair. Catlin Arctic Survey dan kelompok konservasi internasional WWF mendukung penemuan tersebut.

Situasi es di Artik tersebut sangat dipengaruhi iklim dan kondisi alam. Kondisi es di Laut Artik kerap pula dikaitkan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. (INE)

Sabtu, 17 Oktober 2009

Membuat Sel Surya Sendiri.....?

Ditengah krisis energi dunia sudah selayaknya jika pemerintah memiliki goodwill untuk semakin menyejahterakan rakyatnya, salah satunya dengan menjalankan program penggunaan sel surya untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga. Mengingat sebagian besar rakyat hidup di pedesaan, yang mungkin masih belum terlayani oleh jaringan listrik PLN. Belum lagi rencana adanya kenaikan nilai jual PLN, yang akan semakin memberatkan beban hidup rakyat. Sehingga program "sel suryanisasi" secara nasional layak untuk digulirkan, bagaimana ?!

Proses Pembuatan Sel Surya

Pada dasarnya, pembuatan sel surya tidak ubahnya pembuatan microchip yang ada di dalam peralatan elektronika semisal komputer, televisi maupun alat pemutar musik digital MP3. Banyak teknologi yang dipakai oleh sel surya mengadopsi dan mengadaptasi teknologi pembuatan microchip karena teknologi microchip sudah mapan jauh sebelum booming sel surya yang baru muncul belakangan di akhir 1980-an.

Teknologi pembuatan microchip maupun sel surya sama-sama bersandar pada konsep nanoteknologi. Yakni sebuah konsep revolusioner dalam merekayasa perilaku dan fungsi sebuah sistem pada skala molekul atau skala nanometer (berdimensi ukuran se-per-milyar meter). Sistem yang dimaksud ini dapat berupa molekul-molekul, ikatan kimia, hingga atom-atom yang menyusun sebuah produk. Yang direkayasa ialah perilaku atom atau molekul-molekulnya tadi dengan jalan menyesuaikan kondisi pembuatan atau lingkungan molekul atau atom yang dimaksud.

Sebagai contoh nyata yang umum pada dunia akademik maupun industri mikrochip ialah, kita dapat mengatur di mana sebuah molekul atau atom tersebut menempel di bagian tertentu pada komponen microchip atau sel surya, atau “memrintahkan” ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain ketika arus listrik atau temperatur disesuaikan. Pengaturan atau perekayasaan perilaku molekul atau atom ini sangat berguna untuk menyesuaikan produk sebuah teknologi untuk keperluan sehari-hari. Hal ini terlihat jelas jika melihat kegunaan komputer dewasa ini yang semakin cepat dan poweful justru ketika ukuran prosesor-nya semakin kecil dan memori yang semakin padat. Atau kita melihat bagaimana rekayasa molekul dapat menghasilkan tanaman yang mengasilkan buah dan bibit yang berkualitas lebih unggul. nanoteknologi tidak hanya menyentuh persoalan bagaimana membuat, namun juga bagaimana menguji dan mengamatinya, yang jelas membutuhkan alat yang sama-sama berangkat dari konsep yang sama dan dimensi ukuran yang sama.



Nanoteknologi tidak hanya menyentuh persoalan bagaimana membuat, namun juga bagaimana menguji dan mengamatinya, yang jelas membutuhkan alat yang sama-sama berangkat dari konsep yang sama dan dimensi ukuran yang sama.Kerumitan pembuatan sel surya tidak terlalu ditemui pada proses enkapsulasi sel surya menjadi sebuah modul surya. Sebagai informasi, sel surya sendiri berukuran sekitar 5 x 5 atau 10 x 10 cm persegi. Sel sebesar ini hanya dapat mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik berdaya sekitar 1 - 2 Watt saja. Untuk dapat digunakan secara praktis, seitar 30 hingga 50 buah sel surya ini dirangkaikan satu sama lain agar menghasilkan daya keluaran sekitar 50 hingga 75 Watt.Dengan menata seberapa besar kebutuhan listrik, maka tinggal dihitung saja berapa banyak modul surya yang perlu dibeli, kemudian digabung dan dirangkaikan kembali agar menghasilkan daya keluaran sesuai dengan kebutuhan listrik rumah tangga misalnya. Rangkaian modul surya ini disebut dengan panel surya.

Standar pembuatan sel surya jenis silikon melalui beberapa proses implantasi (pemasukan) atom-atom lain ke dalam material silikon yang melibatkan proses kimiawi difusi gas pada temperatur di atas 800 derajat Celcius. Proses ini apabila tidak teliti akan mengakibatkan kebocoran dan sangat berbahaya karena mempergunakan gas yang beracun bagi kesehatan. Alat yang dipergunakan sendiri jelas harus mampu membangkitkan, mengatur dan mempertahankan proses di dalam temperatur tinggi tersebut. Pembuatan sel surya sendiri melalui beberapa tahap proses yang serupa dengan proses implantasi ini dalam temperatur yang berbeda-beda.


Pasir silika salah satu bahan untuk membuat sel surya

Kalau negara kita mengklaim memiliki kekayaan alam pasir silika yang dapat diolah menjadi silikon, maka ini perlu dibuktikan dengan memproduksi sendiri silikon yang diperlukan. Negara kita cukup mampu dalam mengolah bijih-bijih logam dan mustinya mampu pula mengolah pasir silika menjadi bijih silikon. Namun, jika kemampuan finansial maupun teknik bangsa kita masih kalah jauh dengan negara yang sudah maju dalam pembuatan wafer silikon monokristal untuk semikonduktor.

Industri wafer silikon ialah sebuah industri strategis berteknologi tinggi. Posisinya sama dengan industri dirgantara, kapal laut maupun industri baja. Hal ini berkaitan dengan peran vital silikon dalam industri elektronik. Tidak ada industri elektronik manapun yang tidak membutuhkan silikon. Bila sebuah gedung dapat berdiri tegak karena memanfaatkan baja dan pesawat dapat terbang karena menggunakan aluminium, maka komputer dan alat elektronika lain dapat berfungsi karena adanya wafer silikon ini.

Apabila negara kita dapat memiliki industrri strategis di bidang ini, maka kontribusi Indonesia terhadap industri dunia menjadi sangat siginifikan. Sebagai contoh terdekat dengan penulis saat ini, Korea Selatan saat ini menjadi pemimpin dalam bidang memori RAM komputer dengan merek Samsung maupun Hynix. Meski demikian, merka tetap bersikeras membuat wafer silikon sendiri demi mengurangi ketergantungan industri memorinya dari wafer silikon buatan luar.

Proses enkapsulasi sel surya menjadi modul surya relatif lebih mudah dilakukan oleh industri menengah karena inti kegiatannya sama dengan proses assembly, atau merangkai sesuatu dari komponen-komponen panel surya yang sudah ada.Sel surya sebagai produk teknologi tidak lepas dari peran investasi sebagai konsekuensi logis dari visi produksi massal sel surya guna mengatasi tantangan energi di masa depan.

Tanpa investasi baik dalam tataran penelitian, pengembangan maupun produksi, hasil teknologi tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas,dalam hal ini pemerintah perlu segera membuat langkah nyata agar investor antuisias menanamkan modal untuk mengolah potensi silikon serta membangun iklim penelitian dan investasi di area sel surya yang kondusif.

Selasa, 29 September 2009

Soyuz Bersiap Bawa Turis Luar Angkasa

Wahana Soyuz TMA-13
Selasa, 29 September 2009 | 12:31 WIB

KOMPAS.com - Dua hari menjelang peluncuran pesawat ulang alik Soyuz milik Rusia, kesibukan terjadi Senin (28/9) di luar Gedung Perakitan Roket dan Gagarin Start, lokasi peluncuran di kawasan Baikonur, Kazakhstan.

Roket Soyuz dan kapsul pembawa dipindahkan dari gedung perakitan ke titik luncur menggunakan kereta. Pesawat ulang alik itu akan mengantarkan turis luar angkasa, triliuner asal Kanada sekaligus pemilik sirkus Cirque du Soleil, Guy Laliberte (50), sebagai turis luar angkasa ketujuh di dunia, terhitung sejak April 2001.

Rencananya, Soyuz akan diluncurkan ke stasiun ruang angkasa internasional (ISS) Rabu (30/9). Kosmonot Rusia, Maxim Surayev, dan astronot AS, Jeffrey Williams, akan terbang bersama Laliberte.

Kemarin belasan anggota keluarga, teman, dan petugas badan luar angkasa Rusia, Roscosmos, berkumpul di luar gedung perakitan roket. ”Bagi dia (Laliberte), ini sangat menyenangkan, lebih dari sebuah mimpi masa kecil,” kata pacar Guy Laliberte, model Claudia Barilla.

Untuk perjalanan langka itu, Laliberte membayar 35 juta dollar AS atau sekitar Rp 350 miliar —dari kekayaannya yang lebih dari Rp 200 triliun. Kemungkinan ia akan menjadi turis luar angkasa terakhir setelah AS memutuskan menghentikan program ”jalan-jalan” ke luar angkasa.

Rencananya, ia akan menghabiskan waktu ”berlibur” 12 hari di ISS. Untuk membuat perjalanan ”piknik” itu menjadi semakin tak terlupakan, Laliberte menyiapkan kostum klasik badut sirkus, termasuk penutup hidung merah khas badut untuk setiap kru pesawat. Namun, ia menegaskan, perjalanan tetap serius, termasuk rencana pemaparan dari ISS untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah ketersediaan air bersih di dunia.

Bagi astronot Williams (51), Rabu itu merupakan perjalanan ketiganya ke ISS, sedangkan kosmonot Surayev (37) baru pertama kali. Rencananya, Laliberte akan kembali ke Bumi bersama kosmonot Gennady Palka dan astronot AS, Michael Barrat. Palka dan Barrat berada di ISS sejak Maret 2009. (AP/GSA)

disadur oleh : slatem

Rabu, 09 September 2009

Satelit ALOS Tampilkan Dampak Gempa di Cianjur

JAKARTA, KOMPAS.com

Senin, 7 September 2009 | 07:38 WIB- Lokasi longsor di Desa Cikangkareng, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, akibat terjangan gempa bumi, Rabu (2/9), dapat dipantau oleh satelit ALOS-AVNIR2 (Advanced Land Observing Satellite-Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) milik Jepang.

Data citra satelit tersebut diambil Jumat (4/9) kemudian dikirim oleh JAXA Sentinel Asia—Asian Disaster Reduction Center ke Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) berdasarkan permintaan lembaga riset ini. ”Data itu kami olah dan analisis dengan membandingkan kondisi lokasi gempa pada citra sebelum dan sesudah gempa,” ujar Totok Suprapto, Kepala Bidang Pemantauan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Lapan.

Menurutnya, citra satelit beresolusi 10 meter ini menunjukkan kawasan longsor terlihat pada kawasan hampir sepanjang 1 kilometer. Citra satelit ALOS mulai dimanfaatkan Lapan tahun 2006. Kelebihannya dibandingkan dengan satelit lain adalah pada penggunaan dua sistem sekaligus, yaitu optik dan radar. Selain itu, sensornya dapat diarahkan untuk merekam gambar lokasi tertentu. ”Dalam satu minggu minimal satu kali satelit ini melewati Indonesia,” tutur Totok. (YUN)

disadur oleh slatem

Kamis, 20 Agustus 2009

Rumah dan Mimpi Pengurangan Emisi

Dok. IAI Pusat
Klerestori dilihat dari dalam (dekat pintu menuju balkon lantai 2). Klerestori ini, selain membuat sejuk juga memasukan sinar matahari pagi sampai kira-kira pukul 09.00 WIB.
Jumat, 31 Juli 2009 | 11:37 WIB

Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Dunia saat ini sedang menghadapi tantangan besar menyongsong bencana iklim yang (seharusnya) menjadi momok. Jika suhu bumi naik hingga dua derajat, yang diperkirakan akan tercapai pada abad ini, dan jika kita tidak berbuat apa-apa sekarang, maka Planet Bumi akan menuai bencana: mulai dari badai yang semakin sering, iklim yang tak lagi terprediksi, kekeringan, hingga banjir dengan skala masif.

Bencana tak langsung adalah kelaparan, kekurangan suplai air bersih, serta penyebaran penyakit tropis yang lebih luas. Masalahnya, bumi dan lingkungan yang melingkupinya bersifat tetap, sementara manusia yang menghuni di atasnya terus berkembang. Perkembangan itu menuntut pembangunan.

Daerah urban merupakan kawasan dengan laju pembangunan amat pesat. Berdasarkan proyeksi Divisi Kependudukan PBB, penduduk kawasan urban pada kurun waktu 2000-2030 akan bertambah rata-rata 1,8 persen per tahun, dua kali lipat tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk dunia seluruhnya. Dengan kecepatan seperti ini, dalam waktu 38 tahun ke depan jumlah penduduk kota akan berlipat dua. (Bayangkan Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 20 juta!)

Penduduk urban adalah konsumen segala macam sumber daya termasuk energi yang amat rakus. ”Ketika emisi karbon dioksida dari kota amat tinggi dibandingkan daerah pedesaan, sebenarnya penduduk kota pulalah pemegang kunci dari pengurangan emisi karbon. Ketika diturunkan menjadi sel-sel yang lebih kecil, rumah memegang kunci pengurangan emisi karbon,” demikian antara lain disampaikan konsultan senior Rockwool, Thomas Nordli, saat menerima sejumlah wartawan Indonesia di Kopenhagen, Denmark, awal Juni lalu.

Tantangan itu terletak pada bagaimana mengurangi emisi karbon di kota, sekaligus tetap bertumbuh sebagai kota yang kompetitif dan menarik untuk kegiatan ekonomi. Jawabannya ada pada paradigma pembangunan kota berkelanjutan, setidaknya berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan.

Ketika emisi karbon tinggi, perubahan iklim yang terjadi akan memunculkan dampak ikutan berupa kemiskinan, ketidakadilan, yang bermuara pada menurunnya kualitas manusia. Untuk pengembangan kota, bukan hanya para arsitek, ahli tata ruang, dan ahli perkotaan yang perlu dilibatkan, para ahli geografi, antropologi, budayawan, dan kesehatan pun perlu dilibatkan, mengingat pembahasan akan menyentuh area-area kesehatan penduduk, perilaku penduduk, dan aset lingkungan.

Insulasi

Salah satu cara menghemat energi dalam sistem bangunan rumah adalah pemasangan insulasi. Nordli dari perusahaan insulator Rockwool menggarisbawahi, bangunan di negara-negara Uni Eropa merupakan emiter terbesar karbon, hingga mencapai 41 persen. Sebesar 33 persen digunakan untuk transportasi dan sisanya, 26 persen, untuk kebutuhan operasional industri.

”Dua pertiga dari konsumsi energi pada bangunan digunakan untuk melakukan pemanasan dan pendinginan,” ujarnya. Di negara empat musim, pemanas berperan besar untuk kenyamanan dalam bangunan. Sementara di negara tropis, pendingin amat didambakan.

Untuk mendapatkan kenyamanan tersebut, ada dua cara. Pertama, membangun pembangkit listrik atau pemanas. Kedua, menghemat penggunaan energi.

Nordli mengungkapkan hasil risetnya bahwa untuk mendapatkan listrik, butuh dana 3,9 sen euro per kWh per meter persegi, sementara hanya butuh 2,6 sen euro untuk mendapat kenyamanan yang setara jika dilakukan penghematan energi. Cara kedua inilah yang ditawarkan oleh sistem insulasi.

Prinsip kerja sistem insulasi adalah bersifat sebagai isolator, mampu menahan temperatur. Sebuah rumah dengan sistem insulasi akan mampu menahan panas yang ada di dalam rumah agar tidak lepas ke luar rumah.

Di sisi lain, insulator juga menahan hawa dingin dari luar rumah. Dengan demikian, kebutuhan akan pemanas dengan energi listrik atau gas akan sangat berkurang.

”Itu berarti kita telah mengurangi konsumsi energi kita sehingga emisi yang keluar dari rumah kita pun turun,” ujar Nordli.

Insulasi bukan lagi barang aneh di Denmark. Sekitar tiga tahun lalu muncul peraturan yang menetapkan standar rumah yang, antara lain, bertujuan mengurangi emisi dari bangunan rumah, sebuah rumah yang lebih ramah lingkungan (rumah hijau).

Menurut Charlotte Hjelm, yang membangun rumahnya sekitar dua tahun lalu, dengan memasang insulasi, dia dapat menghemat penggunaan energi hingga 25 persen. Penghematan itu bisa mencapai sekitar 1.000 krone Denmark per bulan.

Dengan kemampuan bertahan selama 50 tahun, sistem insulasi Rockwool yang menempati posisi kedua di dunia dalam pangsa pasar diperhitungkan mampu menghemat 200 juta ton emisi karbon. Insulasi bukan hanya untuk bangunan rumah, tetapi terutama untuk industri dan bangunan-bangunan masif, seperti perkantoran. Sejumlah contoh di negara tetangga di antaranya bangunan Ikea di Singapura dan Malaysia, stasiun kereta api Lok Ma Chau di Hongkong, Bandara Changi di Singapura, National Convention Centre di Vietnam, Low Energy Office (LEO) dari Departemen Energi Malaysia.

Berpijak pada kemajuan yang dicapai sekarang, muncullah cita- cita besar ke depan, yaitu bagaimana membangun rumah yang sama sekali tidak membutuhkan pasokan energi dari luar. Itu disebut sebagai passive house (rumah pasif). Saat ini Rockwool membangun rumah pasif di kawasan Czech Technical University. Nilai bangunannya 800 euro (sekitar Rp 11,2 juta) per meter persegi.

Kini negara-negara maju di Uni Eropa berencana menerapkan peraturan passive house pada 2016, sementara Inggris akan memulai pada 2015 dan Jerman serta Belanda pada tahun 2015. Ambisi besar Perancis adalah standar rumah energy plus— rumah yang justru memproduksi energi—yang akan mulai diperkenalkan pada 2020.

Itulah mimpi besar untuk mengurangi emisi global. Dan, mimpi itu bisa diawali dari mimpi kecil: bagaimana mengoperasikan rumah kita dengan energi yang seefisien mungkin, dengan emisi karbon seminim mungkin. Mimpi selalu diperlukan untuk sebuah perubahan besar.


disadur dari : kompas, oleh slatem

Kamis, 13 Agustus 2009

Puluhan Ribu Kilometer Persegi Es Arktik Meleleh

Rabu, 12 Agustus 2009 | 07:56 WIB

SEATTLE, KOMPAS.com — Puluhan ribu kilometer persegi es di laut Arktik meleleh, Minggu (9/8). Dengan mengamati melalui satelit, para ilmuwan memperkirakan luas lapisan sekarang adalah yang tersempit.

Peneliti kawakan Eddie Gruben menyaksikan es yang meleleh semakin luas per dekade. Pengamatan dilakukan sekitar 2.414 kilometer di utara Seattle, AS. Akhir pekan lalu, tepi es tinggal berjarak 128 kilometer menjorok ke laut dan menurut Gruben (89 tahun), 40 tahun lalu, tepi es menjorok 64 kilometer lebih jauh ke laut.

Rata-rata temperatur global naik 0,6 derajat celsius pada abad lalu, tetapi suhu Arktik naik jauh lebih cepat. Pada akhir Juli lalu, suhu naik hingga 30 derajat celsius. "Airnya amat hangat, anak-anak bisa berenang di laut," ujar Gruben.

Daerah tersebut merupakan permukiman suku Inuvialuit—sebutan untuk bangsa Eskimo Arktik bagian barat. Kamis (6/8), Pusat Data Nasional AS untuk Salju dan Es menyebutkan, sekitar 106.000 kilometer persegi es meleleh pada suatu hari bulan Juli. Ini ekuivalen dengan luas Indiana. Tingkat melelehnya es ini sama dengan peristiwa Juli 2007.

Dari laporan kantor meteorologi di Colorado, kondisi atmosfer sekarang mirip dengan tahun 2007 yang ditandai dengan langit yang amat cerah. Ketika itu, es di Laut Beaufort di utara Arktik juga meleleh. (AP/ISW)

disadur dari : kompas, oleh : slatem

Rabu, 05 Agustus 2009

Monyet Ekor Panjang Punya Rumah Baru KOMPAS.com/Kristianto Purnomo Pelepasliaran seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Panaitan, T

Selasa, 4 Agustus 2009 | 10:01 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Kristianto Purnomo

KOMPAS.com - Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) memang tidak tergolong satwa yang dilindungi. Justru karena alasan tersebut monyet jenis ini paling rentan terhadap ekspoitasi baik diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Padahal monyet ekor panjang memiliki fungsi ekologis yang tak kalah penting dibandingkan jenis primata lain yang dilindungi. Oleh sebab itulah tidak ada alasan bagi IAR untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap satwa ini. -AR. Darma Jaya Sukmana, Direktur Eksekutif International Animal Rescue-

MANUSIA menyebutnya dengan beragam nama. Orang Bali menyebutnya Bojog; orang Jawa Tengah dan Jawa Timur memanggilnya Kethek; sementara orang Jawa Barat memanggilnya Kunyuk, Oces maupun Monyet. Dengan tinggi tubuh antara 38-76 cm, primata ini terlihat kokoh dengan balutan mantel rambut berwarna cokelat kemerah-merahan di bagian bawah dan wajah meninjol dengan warna keputihan.

Walau banyak nama untuk menyebutnya, hewan yang dimaksud adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), primata yang jamak dijumpai di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Konon, Sir Thomas Stamford Raffles memberi nama ini saat ia berusia 40 tahun di tahun 1821. Macaca berarti monyet dalam bahasa Portugis, macaco. Sementara fascicularis kemungkinan mengacu pada kelompok kecil, 5-6 ekor per kelompok.

Pagi di awal bulan Agustus, Sabtu (1/8), lima belas monyet ekor panjang dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya di Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon, usai merampungkan masa rehabilitasi di pusat rehabilitasi satwa International Animal Rescue (IAR) di Ciapus, Bogor.

Beruntung, mereka dirawat oleh IAR, lembaga yang secara konsisten berupaya untuk menyelamatkan monyet ekor panjang dari kepunahannya. Sayangnya, sebagai primata yang mampu hidup dalam beragam kondisi dari hutan bakau di pantai, dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 2.000 mdpl, monyet ekor panjang bukan termasuk satwa yang dilindungi. Lebih-lebih, monyet yang bisa memanjat sembari melompat sejauh 5 meter ini sering menjadi subyek eksploitasi. Bukan hanya menjadi olok-olokan antara manusia lantaran kenakalannya mirip dengan manusia, tetapi juga sering menjadi hewan percobaan dalam riset biomedis seperti HIV-AIDS, produksi vaksin polio, kardiovaskuler dan gastoentrik .

Tak heran, banyak monyet ekor panjang diserahkan kepada IAR dengan kondisi yang tak sempurna. Misalnya, ada satu monyet ekor panjang yang kehilangan ekornya lantaran dibabat oleh pemiliknya. Sudah kehilangan organ tubuhnya, monyet yang bisa berenang dengan baik ini juga kehilangan fungsi sosialnya sebagai satwa yang mestinya hidup berkelompok.

Panaitan, habitat anyar 15 monyet ekor panjang

Karena termasuk hewan yang gesit, saat pelepasliaran monyet ekor panjang, relawan IAR harus berjibaku menangkap dan membiusnya berulang kali demi memudahkan proses pemindahan dan menghindari monyet ekor panjang dari stres. Dalam keadaan tertidur, relawan IAR perlahan-lahan mengeluarkan monyet ekor panjang dari kandang rehabilitasi dan dengan leluasa melakukan proses pemeriksaan satwa. Mulai dari menimbang, memasang microchip, hingga mengambil sampel darah untuk memastikan kesehatan monyet.

Relawan membutuhkan sedikitnya lima jam untuk memeriksa dan memindahkan lima belas monyet ekor panjang tersebut dari kandang rehabilitasi ke kandang transport. Sesudahnya, mereka diusung ke Pulau Panaitan, bakal habitat monyet ekor panjang di sebelah barat laut Jawa dekat Ujung Kulon.

Mengapa Pulau Panaitan? Pulau seluas 17.500 hektar tersebut menggudangkan hutan dan beragam hewan liar seperti rusa, babi hutan, ulat phyton, monyet dan juga berbagai macam burung. Nantinya, dengan merekalah monyet ekor panjang membaur. Areal Pulau Panaitan yang luas merupakan alasan utama monyet ekor panjang diangkut ke kawasan ini. Pertimbangan lainnya adalah soal ketersediaan pakan, jauh dari masyarakat, tipe vegetasi yang ditumbuhi pohon-pohon yang sesuai dengan tempat tidur monyet, hingga pertimbangan satwa lain yang menjadi pesaing dan predatornya.

Di Pulau Panaitan, lima belas monyet ekor panjang yang terbagi dalam tiga kelompok ini menempati kandang habituasi selama tiga hari. Disana, mereka belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan anyar sebelum akhirnya benar-benar dilepasliarkan. Maklum, meski sudah menjalani proses rehabilitasi, lepas dari ketergantungan manusia adalah masa yang sulit bagi monyet-monyet ini pada awal pelepasliaran.

Karenanya, saat beberapa monyet ekor panjang kembali ke kamp relawan IAR, mereka harus dihalau agar kembali ke hutan. Meski telah melepasliarkan monyet, pekerjaan relawan IAR tak serta-merta usai. Mereka masih harus melakukan pengamatan selama kurang lebih dua minggu untuk memastikan monyet-monyet ini bisa bertahan hidup di lingkungan barunya.

disadur dari : Kompas, oleh slatem

Selasa, 28 Juli 2009

LIPI Kembangkan Baterai Lithium Keramik untuk Mobil Listrik

Senin, 1 Juni 2009 | 23:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan baterai lithium berbahan keramik padat yang lebih tahan panas untuk digunakan pada kendaraan masa depan berbahan bakar listrik fuel cell.

"Baru LIPI yang sudah berhasil mengembangkan baterai lithium dari komposit material gelas keramik di dunia ini, seperti dari pecahan kaca. Dengan demikian sistem fuel cell tidak lagi memerlukan sistem pendingin," kata Peneliti Material dan Komposit Pusat Penelitian Fisika LIPI, Dr Bambang Prihandoko di Jakarta, Senin (1/6).

Dunia mobil hibrida sampai saat ini, lanjut Bambang, masih menggunakan baterai lithium dari polimer padat yang kekurangannya tidak tahan panas, sementara baterai lithium dari keramik mampu menahan panas sampai 200 derajat Celcius sehingga tidak diperlukan sistem pendingin.

Sel baterai lithium dari keramik dengan 3,3 Volt dan 200 mili Ampere itu nantinya akan diserikan dan diparalelkan sehingga kemampuannya meningkat untuk mengganti listrik fuel cell selama dua jam bagi kecepatan kendaraan 100 km per jam.

Baterai yang dikembangkan pihaknya itu, jelasnya, sudah dalam bentuk prototipe dan sudah dipatenkan sehingga sudah bisa diproduksi secara massal.
Ia mengakui, baterai lithium masih belum diujicobakan pada kendaraan listrik fuel cell buatan LIPI (Marlip) yang masih menggunakan aki konvensional (lead acid).

"Berat baterai lithium hanya seperlima berat aki. Tahun depan akan kita ganti aki di Marlip dengan baterai lithium ini sehingga Marlip menjadi jauh lebih ringan," katanya. Tanpa baterai lithium, urainya, kendaraan listrik dengan sistem fuel cell tidak bekerja sebagaimana mestinya di mana kecepatan konstan, tidak bisa bergerak lebih cepat.

Mobil hibrida yang dilengkapi sistem fuel cell ramah lingkungan, sejak dua dekade belakangan mulai banyak diperkenalkan. Hampir seluruh produsen kendaraan bermotor juga meluncurkan jenis mobil hibrida yang selain menggunakan sumber energi premium, juga menggunakan energi listrik. Saat ini para produsen mobil hibrid sedang berlomba-lomba menciptakan baterai yang aman, bertenaga, tahan lama, ringan, dan cepat diisi ulang sambil memaksimalkan kemampuan baterai lithium-ionnya.

Prinsip kerja sistem fuel cell yakni menggunakan proses elektrokimia di mana hidrogen dan oksigen digunakan sebagai bahan bakar. Komponen utama fuel cell terdiri dari elektrolit berupa lapisan khusus yang diletakkan di antara dua buah elektroda. Proses kimia yang disebut pertukaran ion terjadi di dalam elektrolit ini dan menghasilkan listrik serta air panas, sehingga fuel cell menghasilkan energi listrik tanpa adanya pembakaran dan tidak ada polusi.


WAH
Sumber : Antara, disadur oleh : slatem

Bayi Mengerti Perasaan Anjing

Jumat, 24 Juli 2009 | 16:40 WIB

KOMPAS.com - Penelitian terbaru menemukan bahwa bayi usia 6 bulan dapat mengasosiasikan geraman marah atau salakan riang seekor anjing dengan gambar anjing yang dihadapkannya. dari temuan itu, dapat disimpulkan bahwa bayi dapat menerjemahkan emosi bahkan sebelum ia belajar berbicara.

"Emosi ialah salah satu hal pertama yang diserap bayi dari lingkungan sosial," jelas Ross Flom yang merupakan kepala peneliti. Beliau ialah profesor psikologi dari Brigham Young University, Utah.

Penelitian dilakukan terhadap 128 bayi, masing-masing 32 dari empat kelompok umur (6, 12, 18, dan 24 bulan). Hasilnya, bayi dapat membedakan mana gonggongan anjing yang kasar dan tidak ramah, mana gonggongan yang bersahabat. Tak terkecuali bayi yang usianya baru 6 bulan maupun bayi berusia hingga 2 tahun.

Namun, perbedaan besar terletak pada reaksi. Artinya, bayi yang lebih besar memiliki respon berbeda dari bayi 6 bulan. Bayi 6 bulan akan fokus pada gambar itu, menunjukkan ekspresi wajah galak, dengki saat menemukan gambar. Sementara bayi berumur 1-2 tahun, walau mereka pun dapat memahami emosi anjing di gambar dengan tepat, cenderung lebih acuh.

Dalam riset sebelumnya tentang kecerdasan bayi, disebutkan pula bahwa bayi memperlihatkan tanda-tanda kemampuan membaca ekspresi wajah dan lagu kalimat (intonasi) pada pembicaraan. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi waktu ketika ia mengamati dan merekam sesuatu.


M9-09
Sumber : LIVESCIENCE, disadur oleh : slatem

Sabtu, 18 Juli 2009

Ledakan Bintang 11 Miliar Tahun Lalu Terdeteksi NASA supernova / Artikel Terkait: * Ledakan Bintang Berbentuk Kalung Mutiara * Astronot Berha

Jumat, 10 Juli 2009 | 08:12 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Para astronom mengklaim menemukan ledakan bintang (supernova) terjauh yang pernah terdeteksi, sebuah serpihan bintang raksasa yang terbentuk sekitar 11 miliar tahun silam.

Mengacu pada keyakinan bahwa alam semesta terbentuk 13,7 miliar tahun silam, supernova itu merupakan salah satu fenomena ledakan bintang pertama pada awal-awal penciptaan. Ledakan bintang tertua yang tercatat sebelumnya terjadi sekitar enam miliar tahun lalu.

Temuan terbaru ledakan bintang tersebut dimungkinkan melalui teknik baru, yang memungkinkan para ahli kosmologi (cabang ilmu astronomi yang menyelidiki asal-usul alam semesta) mendeteksi ledakan bintang bermiliar tahun silam. Namun, tidak dijelaskan teknik baru semacam apa yang diterapkan.

Yang jelas, bekas ledakan bintang tersebut terdeteksi setelah para astronom membandingkan banyak gambar yang diambil beberapa tahun lalu dari bagian-bagian langit. Metode perbandingan melalui banyak gambar tersebut memudahkan astronom melihat obyek jagat raya yang berubah cahaya terangnya dari waktu ke waktu.

Ledakan bintang diikuti cahaya yang sangat terang, hingga berjuta-juta kali terangnya dibandingkan dengan terang semula. Saking terangnya, fenomena tersebut dikabarkan dapat terlihat dari galaksi lain yang super jauh.

Supernova sekaligus menandai tamatnya usia bintang yang bersangkutan karena kehabisan bahan bakar. Ketika meledak, bintang mengirimkan gelombang kejut yang bergema di sekitar galaksi.

Ledakan itu mendistribusikan berbagai elemen yang lebih berat daripada oksigen, seperti besi, kalsium, dan silikon, serta memperkaya awan-awan molekuler yang selama berabad lamanya bersama membentuk sistem-sistem bintang baru.

disadur dari : Kompas, oleh : slatem

Kamis, 16 Juli 2009

Pendaratan di Bulan: Akal Sehat Vs Teori Konspirasi


Fenomena alam Halo Bulan disaksikan dari Bandung, Senin (9/2) dini hari
Rabu, 15 Juli 2009 | 04:43 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

KOMPAS.com — Pendaratan di Bulan—yang pertama dilakukan oleh astronot Amerika Serikat, Neil Armstrong, 20 Juli 1969—telah dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pencapaian paling besar dari umat manusia. Namun, kini, setiap kali orang ingin merayakannya, berseliweran artikel yang melecehkannya. Kini memang dikenal istilah ”kontroversi pendaratan di Bulan”, atau malah ”The Great Moon Hoax” atau ”Kebohongan Bulan yang Hebat”.

Menurut Dr Tony Phillips, seorang pendidik sains, di situs Science@NASA, semua bermula ketika stasiun televisi Fox menayangkan program TV berjudul Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?, 15 Juli 2001. Sosok yang tampil dalam tayangan itu menyatakan bahwa teknologi Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) pada tahun 1960-an belum mampu untuk mewujudkan misi pendaratan di Bulan yang sesungguhnya. Namun, karena tidak ingin kalah dalam lomba ruang angkasa dalam konteks Perang Dingin, NASA lalu menghidupkan Program Apollo di studio film.

Dalam skenario ini, langkah pertama Neil Armstrong yang bersejarah di dunia lain, juga pengembaraan dengan kendaraan Bulan, bahkan ayunan golf astronot Al Shepard di Fra Mauro (salah satu tempat di Bulan) semua palsu!

Ya, menurut acara TV Fox di atas, NASA menjadi produser film yang bloon 30 tahun sebelumnya (dari saat acara tersebut ditayangkan tahun 2001). Sebagai contoh, pakar dalam acara Conspiracy Theory menunjuk bahwa dalam foto astronot yang dikirim dari Bulan tidak menampakkan bintang-bintang di langit Bulan yang gelap. Apa yang terjadi? Apakah pembuat film NASA lupa menyalakan konstelasi bintang?

NASA menyebutkan, perkara itu sudah dijawab oleh fotografer bahwa memang sulit untuk memotret satu obyek yang sangat terang dan satu obyek lain yang sangat redup di lembar film yang sama karena memang emulsi film pada umumnya tidak punya cukup ”rentang dinamik” untuk mengakomodasi obyek yang sangat berbeda tingkat terangnya. Astronot dengan pakaian angkasanya jadi obyek yang terang, dan kamera yang diset untuk memotret mereka akan membuat bintang-bintang latar belakang terlalu lemah untuk dilihat.

Lainnya yang dipersoalkan adalah foto astronot yang menancapkan bendera di permukaan Bulan, mengapa benderanya seperti berkibar bergelombang? Mengapa bisa terjadi demikian, padahal tidak ada angin di Bulan? Dijelaskan, tidak semua bendera yang berkibar membutuhkan angin. Itu karena astronotketika menanam tiang benderamemutar-mutarnya agar menancap lebih baik. Itu membuat bendera berkibar.

NASA dalam kaitan tuduhan rekayasa pendaratan Bulan ini mempersilakan siapa pun yang tetap meragukan pendaratan di Bulan untuk mengakses situs-situs BadAstronomy.com dan Moon Hoax, yang merupakan situs independen, tidak disponsori NASA. Astronom Martin Hendry dari Universitas Glasgow dalam edisi khusus ”40 Tahun Pendaratan di Bulan” Knowledge yang diterbitkan BBC juga menguraikan lagi tangkisan terhadap Teori Konspirasi.

Akal sehat

Namun, menurut Tony Phillips, bantahan paling baik atas tuduhan Kepalsuan Bulan ini adalah akal sehat. Ada selusin astronot yang berjalan di Bulan antara 1969 dan 1972. Di antara mereka masih ada yang hidup dan bisa memberikan kesaksian. Mereka juga kembali ke Bumi tidak dengan tangan kosong. Astronot Apollo membawa kembali 382 kg batu Bulan ke Bumi.

Kalau orang meragukan batu ini dari Bulan, Ilmuwan Kepala di Sains dan Eksplorasi Planet di Pusat Ruang Angkasa Johnson David McKay menegaskan bahwa batuan Bulan sangat unik, jauh berbeda dengan batuan Bumi. Pada sampel Bulan tadi, menurut Dr Marc Norman, ahli geologi Bulan di Universitas Tasmania, hampir tidak ada tangkapan air di struktur kristalnya. Selain itu, mineral lempung yang banyak dijumpai di Bumi sama sekali tidak ada di batuan Bulan. Sempat ditemukan partikel kaca segar di batuan Bulan yang dihasilkan dari aktivitas letusan gunung berapi dan tumbukan meteorit lebih dari 3 miliar tahun silam. Adanya air di Bumi dengan cepat memecahkan kaca vulkanik seperti itu hanya dalam tempo beberapa juta tahun.

Mereka yang pernah memegang batu Bulankalau di AS, seperti yang ada di Museum Smithsoniandipastikan akan melihat bahwa batu tersebut berasal dari dunia lain karena batu yang dibawa angkasawan Apollo dipenuhi kawah-kawah kecil dari tumbukan meteoroid, dan itu menurut McKay hanya bisa terjadi pada batuan dari planet (atau benda langit lain) dengan atmosfer tipis atau tanpa atmosfer sama sekali, seperti Bulan.

Dalam jurnal Knowledge, Martin Hendry masih mengemukakan sederet tangkisan terhadap argumen yang diajukan oleh penganut Teori Konspirasi, seperti tentang sudut bayangan dalam foto yang aneh. Lainnya lagi yang dijawab adalah mengapa tidak ada kawah ledakan di bawah modul Bulan (yang disebabkan oleh semburan roket modul pendarat); lalu juga mengapa sabuk radiasi Bumi tidak menyebabkan kematian pada astronot? Yang terakhir, mengapa tidak ada semburan bahan bakar yang tampak ketika modul pendarat lepas landas meninggalkan Bulan? Jawabannya karena modul Bulan menggunakan bahan bakar aerozine 50, campuran antara hidrazin dan dimethylhydrazine tidak simetri yang menghasilkan asap tidak berwarna, meski kalau ada warna sekalipun kemungkinan besar juga tak terlihat dengan latar belakang permukaan Bulan yang disinari Matahari.

Masa depan

Kini, umat manusia kembali berada dalam satu lomba angkasa baru. Dalam lomba sekarang ini, Bulan tak hanya menjadi destinasi akhir, tetapi akan dijadikan sebagai batu lompatan untuk menuju destinasi lebih jauh, misalnya Planet Mars.

Tahun 2004, Presiden (waktu itu) George W Bush mencanangkan Kebijakan Eksplorasi Angkasa yang sasarannya adalah kembali ke Bulan tahun 2020 dan selanjutnya ke Mars. Jepang tahun 2005 juga mencanangkan tekad serupa, pada tahun 2025. Kekuatan antariksa lain yang harus disebut dan juga telah menyatakan tekad mendaratkan warganya di Bulan adalah Rusia, China, dan India, juga tahun 2020.

Dalam perspektif inilah terlihat bagaimana bangsa-bangsa besar dunia bekerja keras mewujudkan impian besar. Ruang angkasa sebagai Perbatasan Terakhir (The Final Frontier) tidak saja menjanjikan prestise, tetapi juga masa depan, dan keyakinan bahwa, dengan bisa hadir di sana, ada banyak perkara di Bumi yang akan bisa ikut dibantu penyelesaiannya.

sumber ; kompas
disadur ulang oleh : slatem

Pendaratan di Bulan: Akal Sehat Vs Teori Konspirasi


Fenomena alam Halo Bulan disaksikan dari Bandung, Senin (9/2) dini hari
Rabu, 15 Juli 2009 | 04:43 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

KOMPAS.com — Pendaratan di Bulan—yang pertama dilakukan oleh astronot Amerika Serikat, Neil Armstrong, 20 Juli 1969—telah dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pencapaian paling besar dari umat manusia. Namun, kini, setiap kali orang ingin merayakannya, berseliweran artikel yang melecehkannya. Kini memang dikenal istilah ”kontroversi pendaratan di Bulan”, atau malah ”The Great Moon Hoax” atau ”Kebohongan Bulan yang Hebat”.

Menurut Dr Tony Phillips, seorang pendidik sains, di situs Science@NASA, semua bermula ketika stasiun televisi Fox menayangkan program TV berjudul Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?, 15 Juli 2001. Sosok yang tampil dalam tayangan itu menyatakan bahwa teknologi Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) pada tahun 1960-an belum mampu untuk mewujudkan misi pendaratan di Bulan yang sesungguhnya. Namun, karena tidak ingin kalah dalam lomba ruang angkasa dalam konteks Perang Dingin, NASA lalu menghidupkan Program Apollo di studio film.

Dalam skenario ini, langkah pertama Neil Armstrong yang bersejarah di dunia lain, juga pengembaraan dengan kendaraan Bulan, bahkan ayunan golf astronot Al Shepard di Fra Mauro (salah satu tempat di Bulan) semua palsu!

Ya, menurut acara TV Fox di atas, NASA menjadi produser film yang bloon 30 tahun sebelumnya (dari saat acara tersebut ditayangkan tahun 2001). Sebagai contoh, pakar dalam acara Conspiracy Theory menunjuk bahwa dalam foto astronot yang dikirim dari Bulan tidak menampakkan bintang-bintang di langit Bulan yang gelap. Apa yang terjadi? Apakah pembuat film NASA lupa menyalakan konstelasi bintang?

NASA menyebutkan, perkara itu sudah dijawab oleh fotografer bahwa memang sulit untuk memotret satu obyek yang sangat terang dan satu obyek lain yang sangat redup di lembar film yang sama karena memang emulsi film pada umumnya tidak punya cukup ”rentang dinamik” untuk mengakomodasi obyek yang sangat berbeda tingkat terangnya. Astronot dengan pakaian angkasanya jadi obyek yang terang, dan kamera yang diset untuk memotret mereka akan membuat bintang-bintang latar belakang terlalu lemah untuk dilihat.

Lainnya yang dipersoalkan adalah foto astronot yang menancapkan bendera di permukaan Bulan, mengapa benderanya seperti berkibar bergelombang? Mengapa bisa terjadi demikian, padahal tidak ada angin di Bulan? Dijelaskan, tidak semua bendera yang berkibar membutuhkan angin. Itu karena astronotketika menanam tiang benderamemutar-mutarnya agar menancap lebih baik. Itu membuat bendera berkibar.

NASA dalam kaitan tuduhan rekayasa pendaratan Bulan ini mempersilakan siapa pun yang tetap meragukan pendaratan di Bulan untuk mengakses situs-situs BadAstronomy.com dan Moon Hoax, yang merupakan situs independen, tidak disponsori NASA. Astronom Martin Hendry dari Universitas Glasgow dalam edisi khusus ”40 Tahun Pendaratan di Bulan” Knowledge yang diterbitkan BBC juga menguraikan lagi tangkisan terhadap Teori Konspirasi.

Akal sehat

Namun, menurut Tony Phillips, bantahan paling baik atas tuduhan Kepalsuan Bulan ini adalah akal sehat. Ada selusin astronot yang berjalan di Bulan antara 1969 dan 1972. Di antara mereka masih ada yang hidup dan bisa memberikan kesaksian. Mereka juga kembali ke Bumi tidak dengan tangan kosong. Astronot Apollo membawa kembali 382 kg batu Bulan ke Bumi.

Kalau orang meragukan batu ini dari Bulan, Ilmuwan Kepala di Sains dan Eksplorasi Planet di Pusat Ruang Angkasa Johnson David McKay menegaskan bahwa batuan Bulan sangat unik, jauh berbeda dengan batuan Bumi. Pada sampel Bulan tadi, menurut Dr Marc Norman, ahli geologi Bulan di Universitas Tasmania, hampir tidak ada tangkapan air di struktur kristalnya. Selain itu, mineral lempung yang banyak dijumpai di Bumi sama sekali tidak ada di batuan Bulan. Sempat ditemukan partikel kaca segar di batuan Bulan yang dihasilkan dari aktivitas letusan gunung berapi dan tumbukan meteorit lebih dari 3 miliar tahun silam. Adanya air di Bumi dengan cepat memecahkan kaca vulkanik seperti itu hanya dalam tempo beberapa juta tahun.

Mereka yang pernah memegang batu Bulankalau di AS, seperti yang ada di Museum Smithsoniandipastikan akan melihat bahwa batu tersebut berasal dari dunia lain karena batu yang dibawa angkasawan Apollo dipenuhi kawah-kawah kecil dari tumbukan meteoroid, dan itu menurut McKay hanya bisa terjadi pada batuan dari planet (atau benda langit lain) dengan atmosfer tipis atau tanpa atmosfer sama sekali, seperti Bulan.

Dalam jurnal Knowledge, Martin Hendry masih mengemukakan sederet tangkisan terhadap argumen yang diajukan oleh penganut Teori Konspirasi, seperti tentang sudut bayangan dalam foto yang aneh. Lainnya lagi yang dijawab adalah mengapa tidak ada kawah ledakan di bawah modul Bulan (yang disebabkan oleh semburan roket modul pendarat); lalu juga mengapa sabuk radiasi Bumi tidak menyebabkan kematian pada astronot? Yang terakhir, mengapa tidak ada semburan bahan bakar yang tampak ketika modul pendarat lepas landas meninggalkan Bulan? Jawabannya karena modul Bulan menggunakan bahan bakar aerozine 50, campuran antara hidrazin dan dimethylhydrazine tidak simetri yang menghasilkan asap tidak berwarna, meski kalau ada warna sekalipun kemungkinan besar juga tak terlihat dengan latar belakang permukaan Bulan yang disinari Matahari.

Masa depan

Kini, umat manusia kembali berada dalam satu lomba angkasa baru. Dalam lomba sekarang ini, Bulan tak hanya menjadi destinasi akhir, tetapi akan dijadikan sebagai batu lompatan untuk menuju destinasi lebih jauh, misalnya Planet Mars.

Tahun 2004, Presiden (waktu itu) George W Bush mencanangkan Kebijakan Eksplorasi Angkasa yang sasarannya adalah kembali ke Bulan tahun 2020 dan selanjutnya ke Mars. Jepang tahun 2005 juga mencanangkan tekad serupa, pada tahun 2025. Kekuatan antariksa lain yang harus disebut dan juga telah menyatakan tekad mendaratkan warganya di Bulan adalah Rusia, China, dan India, juga tahun 2020.

Dalam perspektif inilah terlihat bagaimana bangsa-bangsa besar dunia bekerja keras mewujudkan impian besar. Ruang angkasa sebagai Perbatasan Terakhir (The Final Frontier) tidak saja menjanjikan prestise, tetapi juga masa depan, dan keyakinan bahwa, dengan bisa hadir di sana, ada banyak perkara di Bumi yang akan bisa ikut dibantu penyelesaiannya.



Sumber : Kompas Cetak
disadur oleh : slatem

Selasa, 30 Juni 2009

Pendidikan Alami Masalah Kronis

Senin, 29 Juni 2009 20:32 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu
JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan selalu digampangkan dengan dianggap sebatas sekolah atau pemberantasan buta huruf. Akibatnya, pendidikan saat ini lebih terfokus pada aspek kognitif, sedangkan pembentukan sikap dan karakter anak didik, serta kebudayaan untuk membangun martabat bangsa diabaikan.

Permasalahan pendidikan nasional bermula dari ketidakpedulian atau ketidaktahuan para penyelenggara negara tentang peran penting pendidikan dalam kemajuan bangsa. Akhirnya kini, pendidikan mengalami berbagai masalah kronis pada setiap ranahnya, kata Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Senin (29/6).

Menurut Sulistiyo, tidak jelasnya filosofi pendidikan Indonesia saat ini menyebabkan penyelenggaraan pendidikan mengalami ketidaktepatan, tidak menjawab kebutuhan dan persoalan di dalam masyarakat. Politik pendidikan dijalankan dengan orientasi kekuasan, tidak mengacu pada peinsip-prinsip ilmiah ilmu pengetahuan, ilmu pendidikan, kearifan budaya lokal, dan pengalaman negara-negara maju.

Anomali dalam kebijakan pendidikan itu tampak dalam berbagai gagasan yang kontroversial. Mulai dari world class university yang membuat kuliah jadi sulit terjangkau masyarakat miskin, Badan Standar Nasional Pendidikan yang super power, sekolah bertaraf internasional, badan hukum pendidikan, hingga ujian nasional, kata Sulistiyo.

Sementara itu, pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan menyoroti visi pembangunan pendidikan yang tidak jelas. Sama seperti pemilihan umum sebelumnya, yang ditawarkan baru sekadar janji-janji terutama berkaitan dengan isu-isu populis seperti sekolah gratis, ujian nasional, kenaikan alokasi anggaran pendidikan, kata Ade Irawan, Sekretaris Koalisi Pendidikan.
disadur oleh : slatem

Minggu, 14 Juni 2009

Transistor Grafin : Untuk Prosesor Super Cepat

Tahukah berapa kecepatan prosesor komputermu saat ini? Kecepatan prosesor notebook atau netbookmu saat ini? Tahukah berapa kecepatan prosesor komputer tercepat saat ini? Ternyata semua masih dalam angka Mega Hertz (MHz) atau Giga Hertz (GHz).
Pernahkah membayangkan bagaimana rasanya menggunakan komputer super cepat dengan kecepatan prosessor 40 Terra Hertz (40.000 GHz)?
Inilah yang sedang didesain oleh seorang profesor teknik fisika bernama Walter de Heer. Pada tahun 2008 lalu dia menemukan sebuah bahan untuk membuat semikonduktor guna dipakai dalam perangkat eletronik termasuk prosesor komputer. Bahan tersebut adalah grafin, suatu bentuk baru dari karbon. Selama ini bahan semikonduktor yang digunakan dalam sirkuit elektronik berasal dari silikon. Material yang banyak kita temui dalam isi pensil.
Sebelumnya telah dibuat model-model karbon yang diperkirakan bisa menjadi bahan semikonduktor yang lebih baih dari silikon. Dan ternyata menurut model tersebut grafin salah satu yang paling cocok.. Satu lapis karbon dengan ketebalan 1 atom dapat dibuat menjadi transistor dengan kecepatan ratusan kali lebih cepat daripada transistor silikon saat ini. Bersama dengan laboratorium Lincoln MIT, Walter membuat ratusan transistor grafin pada sepotong chip. Hasilnya makin menguatkan bahwa grafin bisa menjadi bahan transistor generasi masa depan.
Dia menambahkan, komputer berbasis transistor silikon saat ini hanya bisa menjalankan sejumlhha operasi saja per detiknya tanpa over heating. Namun dengan grafin, elektron bisa bergerak lebih cepat hampir-hampir tanpa hambatan sehingga panas yang diihasilkan juga kecil. Terlebih lagi,, bahan grafin sendiri adalah bahan konduktor panas sehingga panas yang dihasilkan bisa segera dihilangkan dengan cepat. Oleh karenanya elektronik berbasis grafin akan bekerja dengan jauh lebih cepat.
“Saya meyakini bahwa kita bisa membuat (prosesor) terra hertz – sebuah faktor 1000 kali dari giga hertz.” tandas Walter.
Selain menjadikan koomputer lebih cepat, barang-barang elekktronik berbasis grafin akan sangat bermmanfaat untuk teknologi komunikasi dan imaging yang memerlukan transistor ultra cepat.
Penggunaan grafin pertama adalah pada aplikasi freekuensi tinggi seperti imaging gelombang terahertz, yang dapat digunakan untuk mendeteksi senjata tersembunyi.
Selain pada kecepatannya ada nilai lebih lagi dari grafin dibandingkan silikon. Silikon tidak bisa “diukir” menjadi sirkuit elektronik dengan ukuran lebih kecil dari 10 nanometer tanpa kehilang properti elektroniknya. Namun grafin akan tetap sama propertinya – bahkan properti elektroniknya makin tinggi – pada ukuran 1 nanometer.
Ketertarikan terhadap grafin bermula dari penelitian nanotube karbon. Nanotube karbon, yang pada dasarnya merupakan lembaran grafin yang digulung menjadi silinder, mempunyai properti elektronik yang bisa menjadi komponen elekktronik kinerja tinggi.
Walter membuat sirkuit elektronik pada grafin tersebut dengan metode yang sama untuk membuat sirkuit silikon. Dan oleh karenannya sekarang perusahaan-perusahaan semikonduktor berbondong-bondong mengajukan kerjasama dengan sang profesor.
Meskipun demikian, dengan banyaknya kelebihan grafin dibandingkan silikon ternyata grafin masih menyisakan 1 masalah mendasar. Silikon meski transfer elektronnya tidak secepat grafin tapi dia bisa bertindak seperti saklar, kadang bisa meneruskan arus kadang menyetop arus. Ini karakter bahan yang dibutuhkan untuk sebuah prosesor.
Sedangkan grafin konduktivitasnya memang sangat tinggi tapi dia tidak bisa bertindak sebagai saklar. Grafin sulit menjadi penyetop arus, karena resistansinya terlalu kecil dan konduktivitasnya tidak bisa dibuat nol. Konduktivitas yang tinggi akan sangat bermanfaat pada aplikasi-aplikasi tertentu semisal transistor frekuensi tinggi untuk keperluan imaging dan komunikasi. Namun sangat tidak efisien bila digunakan sebagai transistor prosesor komputer.
Meski ada kelemahan tersebut, sang profesor tidak kalah akal. Prof. Walter menjelaskan dalam sebuah seminarnya bahwa grafin bisa dibuat menjadi semikonduktor dengan 3 cara.
Pertama, dengan membuat grafin tersebut menjadi pita sempit & tipis sehingga akan menaiikan resistensinya. Dan cara kedua, dengan memodifikasi grafin secara kimiawi. Cara ketiga dengan meletakkan selapis grafin di atas substrat tertentu.
Modifikasi pita grafin dengan oksigen bisa menginduksi karakteristik semikonduktor pada grafin, jelasnya. Dengan menggabungkan ketiga metode ini, sangat dimungkinkan untuk menciptakan perilaku saklar yang dibutuhkan transistor dalam prosesor komputer.
Sekarang perusahaan-perusahaan raksasa elektronik, Hewlett-Packard, IBM, dan Intel berduyun-duyun meneliti grafin untuk pengembangan produk mereka di masa depan.
Bagaimana, ingin segera merasakan komputer berprosesor 40 Terra Hertz? Kita tunggu saja...

Indosat Sediakan Internet Unlimited di Starone

Starone Internet Unlimited, produk terbaru dari Indosat untuk memanjakan para pengguna layanan Internet.
Menjawab tingginya animo masyarakat menggunakan Internet di ponsel, Indosat merilis Starone Internet Unlimited, yaitu paket layanan internet yang memungkinkan pelanggan terus mengakses internet tanpa batasan kuota pemakaian. Layanan ini berlaku bagi pelanggan layanan telepon tetap nirkabel Starone baik baru maupun pelanggan lama.
"Dengan Starone unlimited, pelanggan bebas menggunakan layanan internet sesuka mereka, tanpa penurunan kecepatan dan dapat dibawa ke mana-mana," terang Suhendri Naswil, Division Head Starone Brand Manager usai peluncuran Starone Unlimited di Jakarta Convention Center, Minggu (14/6).
Produk ini hadir dalam dua paket pilihan, yang pertama adalah Starone Unlimited Prepaid. Dengan paket ini pelanggan dapat mengakses internet sepuasnya selama satu minggu dengan biaya berlangganan Rp 45.000, serta pulsa minimum setelah registrasi adalah Rp 5.000. Yang kedua adalah Internet Unlimited Post Paid, dengan biaya langganan Rp 125. 000 perbulan, pelanggan dapat mengakses internet sepuasnya.
"Paket promo tersebut berlangsung mulai Juni 2009 , sampai batas waktu yang belum ditentukan, sepertinya sampai ada promo selanjutnya," terang dia.
Ia mengakui tarif Starone unlimited tidak semurah provider lain, namun Suhendri menjanjikan konsumen tidak akan kecewa saat menggunakan Starone unlimited. "Kita tidak mau gegabah memberikan tarif murah dengan janji yang segudang. Tarif kita memang tidak terlalu murah tapi layanan kami akan memuaskan pengguna," janji dia.
Saat ini, StarOne unlimited sudah dapaT diakses pada 63 kota di Indonesia. Kecepatan untuk mengakses internet yang ditawarkan oleh StarOne Unlimited adalah 153 Kbps. "Kedepan akan diperluas sampai 82 kota, kalau pelanggan terus bertambah maka BTS juga ditambah," paparnya.
Modem StarOne dijual seharga Rp 499.000. Selain itu, Starone Unlimited dapat juga digunakan melalui handset yang mempunyai kemampuan untuk dijadikan modem.