Kamis, 20 Agustus 2009

Rumah dan Mimpi Pengurangan Emisi

Dok. IAI Pusat
Klerestori dilihat dari dalam (dekat pintu menuju balkon lantai 2). Klerestori ini, selain membuat sejuk juga memasukan sinar matahari pagi sampai kira-kira pukul 09.00 WIB.
Jumat, 31 Juli 2009 | 11:37 WIB

Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Dunia saat ini sedang menghadapi tantangan besar menyongsong bencana iklim yang (seharusnya) menjadi momok. Jika suhu bumi naik hingga dua derajat, yang diperkirakan akan tercapai pada abad ini, dan jika kita tidak berbuat apa-apa sekarang, maka Planet Bumi akan menuai bencana: mulai dari badai yang semakin sering, iklim yang tak lagi terprediksi, kekeringan, hingga banjir dengan skala masif.

Bencana tak langsung adalah kelaparan, kekurangan suplai air bersih, serta penyebaran penyakit tropis yang lebih luas. Masalahnya, bumi dan lingkungan yang melingkupinya bersifat tetap, sementara manusia yang menghuni di atasnya terus berkembang. Perkembangan itu menuntut pembangunan.

Daerah urban merupakan kawasan dengan laju pembangunan amat pesat. Berdasarkan proyeksi Divisi Kependudukan PBB, penduduk kawasan urban pada kurun waktu 2000-2030 akan bertambah rata-rata 1,8 persen per tahun, dua kali lipat tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk dunia seluruhnya. Dengan kecepatan seperti ini, dalam waktu 38 tahun ke depan jumlah penduduk kota akan berlipat dua. (Bayangkan Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 20 juta!)

Penduduk urban adalah konsumen segala macam sumber daya termasuk energi yang amat rakus. ”Ketika emisi karbon dioksida dari kota amat tinggi dibandingkan daerah pedesaan, sebenarnya penduduk kota pulalah pemegang kunci dari pengurangan emisi karbon. Ketika diturunkan menjadi sel-sel yang lebih kecil, rumah memegang kunci pengurangan emisi karbon,” demikian antara lain disampaikan konsultan senior Rockwool, Thomas Nordli, saat menerima sejumlah wartawan Indonesia di Kopenhagen, Denmark, awal Juni lalu.

Tantangan itu terletak pada bagaimana mengurangi emisi karbon di kota, sekaligus tetap bertumbuh sebagai kota yang kompetitif dan menarik untuk kegiatan ekonomi. Jawabannya ada pada paradigma pembangunan kota berkelanjutan, setidaknya berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan.

Ketika emisi karbon tinggi, perubahan iklim yang terjadi akan memunculkan dampak ikutan berupa kemiskinan, ketidakadilan, yang bermuara pada menurunnya kualitas manusia. Untuk pengembangan kota, bukan hanya para arsitek, ahli tata ruang, dan ahli perkotaan yang perlu dilibatkan, para ahli geografi, antropologi, budayawan, dan kesehatan pun perlu dilibatkan, mengingat pembahasan akan menyentuh area-area kesehatan penduduk, perilaku penduduk, dan aset lingkungan.

Insulasi

Salah satu cara menghemat energi dalam sistem bangunan rumah adalah pemasangan insulasi. Nordli dari perusahaan insulator Rockwool menggarisbawahi, bangunan di negara-negara Uni Eropa merupakan emiter terbesar karbon, hingga mencapai 41 persen. Sebesar 33 persen digunakan untuk transportasi dan sisanya, 26 persen, untuk kebutuhan operasional industri.

”Dua pertiga dari konsumsi energi pada bangunan digunakan untuk melakukan pemanasan dan pendinginan,” ujarnya. Di negara empat musim, pemanas berperan besar untuk kenyamanan dalam bangunan. Sementara di negara tropis, pendingin amat didambakan.

Untuk mendapatkan kenyamanan tersebut, ada dua cara. Pertama, membangun pembangkit listrik atau pemanas. Kedua, menghemat penggunaan energi.

Nordli mengungkapkan hasil risetnya bahwa untuk mendapatkan listrik, butuh dana 3,9 sen euro per kWh per meter persegi, sementara hanya butuh 2,6 sen euro untuk mendapat kenyamanan yang setara jika dilakukan penghematan energi. Cara kedua inilah yang ditawarkan oleh sistem insulasi.

Prinsip kerja sistem insulasi adalah bersifat sebagai isolator, mampu menahan temperatur. Sebuah rumah dengan sistem insulasi akan mampu menahan panas yang ada di dalam rumah agar tidak lepas ke luar rumah.

Di sisi lain, insulator juga menahan hawa dingin dari luar rumah. Dengan demikian, kebutuhan akan pemanas dengan energi listrik atau gas akan sangat berkurang.

”Itu berarti kita telah mengurangi konsumsi energi kita sehingga emisi yang keluar dari rumah kita pun turun,” ujar Nordli.

Insulasi bukan lagi barang aneh di Denmark. Sekitar tiga tahun lalu muncul peraturan yang menetapkan standar rumah yang, antara lain, bertujuan mengurangi emisi dari bangunan rumah, sebuah rumah yang lebih ramah lingkungan (rumah hijau).

Menurut Charlotte Hjelm, yang membangun rumahnya sekitar dua tahun lalu, dengan memasang insulasi, dia dapat menghemat penggunaan energi hingga 25 persen. Penghematan itu bisa mencapai sekitar 1.000 krone Denmark per bulan.

Dengan kemampuan bertahan selama 50 tahun, sistem insulasi Rockwool yang menempati posisi kedua di dunia dalam pangsa pasar diperhitungkan mampu menghemat 200 juta ton emisi karbon. Insulasi bukan hanya untuk bangunan rumah, tetapi terutama untuk industri dan bangunan-bangunan masif, seperti perkantoran. Sejumlah contoh di negara tetangga di antaranya bangunan Ikea di Singapura dan Malaysia, stasiun kereta api Lok Ma Chau di Hongkong, Bandara Changi di Singapura, National Convention Centre di Vietnam, Low Energy Office (LEO) dari Departemen Energi Malaysia.

Berpijak pada kemajuan yang dicapai sekarang, muncullah cita- cita besar ke depan, yaitu bagaimana membangun rumah yang sama sekali tidak membutuhkan pasokan energi dari luar. Itu disebut sebagai passive house (rumah pasif). Saat ini Rockwool membangun rumah pasif di kawasan Czech Technical University. Nilai bangunannya 800 euro (sekitar Rp 11,2 juta) per meter persegi.

Kini negara-negara maju di Uni Eropa berencana menerapkan peraturan passive house pada 2016, sementara Inggris akan memulai pada 2015 dan Jerman serta Belanda pada tahun 2015. Ambisi besar Perancis adalah standar rumah energy plus— rumah yang justru memproduksi energi—yang akan mulai diperkenalkan pada 2020.

Itulah mimpi besar untuk mengurangi emisi global. Dan, mimpi itu bisa diawali dari mimpi kecil: bagaimana mengoperasikan rumah kita dengan energi yang seefisien mungkin, dengan emisi karbon seminim mungkin. Mimpi selalu diperlukan untuk sebuah perubahan besar.


disadur dari : kompas, oleh slatem

Kamis, 13 Agustus 2009

Puluhan Ribu Kilometer Persegi Es Arktik Meleleh

Rabu, 12 Agustus 2009 | 07:56 WIB

SEATTLE, KOMPAS.com — Puluhan ribu kilometer persegi es di laut Arktik meleleh, Minggu (9/8). Dengan mengamati melalui satelit, para ilmuwan memperkirakan luas lapisan sekarang adalah yang tersempit.

Peneliti kawakan Eddie Gruben menyaksikan es yang meleleh semakin luas per dekade. Pengamatan dilakukan sekitar 2.414 kilometer di utara Seattle, AS. Akhir pekan lalu, tepi es tinggal berjarak 128 kilometer menjorok ke laut dan menurut Gruben (89 tahun), 40 tahun lalu, tepi es menjorok 64 kilometer lebih jauh ke laut.

Rata-rata temperatur global naik 0,6 derajat celsius pada abad lalu, tetapi suhu Arktik naik jauh lebih cepat. Pada akhir Juli lalu, suhu naik hingga 30 derajat celsius. "Airnya amat hangat, anak-anak bisa berenang di laut," ujar Gruben.

Daerah tersebut merupakan permukiman suku Inuvialuit—sebutan untuk bangsa Eskimo Arktik bagian barat. Kamis (6/8), Pusat Data Nasional AS untuk Salju dan Es menyebutkan, sekitar 106.000 kilometer persegi es meleleh pada suatu hari bulan Juli. Ini ekuivalen dengan luas Indiana. Tingkat melelehnya es ini sama dengan peristiwa Juli 2007.

Dari laporan kantor meteorologi di Colorado, kondisi atmosfer sekarang mirip dengan tahun 2007 yang ditandai dengan langit yang amat cerah. Ketika itu, es di Laut Beaufort di utara Arktik juga meleleh. (AP/ISW)

disadur dari : kompas, oleh : slatem

Rabu, 05 Agustus 2009

Monyet Ekor Panjang Punya Rumah Baru KOMPAS.com/Kristianto Purnomo Pelepasliaran seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Panaitan, T

Selasa, 4 Agustus 2009 | 10:01 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Kristianto Purnomo

KOMPAS.com - Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) memang tidak tergolong satwa yang dilindungi. Justru karena alasan tersebut monyet jenis ini paling rentan terhadap ekspoitasi baik diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Padahal monyet ekor panjang memiliki fungsi ekologis yang tak kalah penting dibandingkan jenis primata lain yang dilindungi. Oleh sebab itulah tidak ada alasan bagi IAR untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap satwa ini. -AR. Darma Jaya Sukmana, Direktur Eksekutif International Animal Rescue-

MANUSIA menyebutnya dengan beragam nama. Orang Bali menyebutnya Bojog; orang Jawa Tengah dan Jawa Timur memanggilnya Kethek; sementara orang Jawa Barat memanggilnya Kunyuk, Oces maupun Monyet. Dengan tinggi tubuh antara 38-76 cm, primata ini terlihat kokoh dengan balutan mantel rambut berwarna cokelat kemerah-merahan di bagian bawah dan wajah meninjol dengan warna keputihan.

Walau banyak nama untuk menyebutnya, hewan yang dimaksud adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), primata yang jamak dijumpai di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Konon, Sir Thomas Stamford Raffles memberi nama ini saat ia berusia 40 tahun di tahun 1821. Macaca berarti monyet dalam bahasa Portugis, macaco. Sementara fascicularis kemungkinan mengacu pada kelompok kecil, 5-6 ekor per kelompok.

Pagi di awal bulan Agustus, Sabtu (1/8), lima belas monyet ekor panjang dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya di Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon, usai merampungkan masa rehabilitasi di pusat rehabilitasi satwa International Animal Rescue (IAR) di Ciapus, Bogor.

Beruntung, mereka dirawat oleh IAR, lembaga yang secara konsisten berupaya untuk menyelamatkan monyet ekor panjang dari kepunahannya. Sayangnya, sebagai primata yang mampu hidup dalam beragam kondisi dari hutan bakau di pantai, dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 2.000 mdpl, monyet ekor panjang bukan termasuk satwa yang dilindungi. Lebih-lebih, monyet yang bisa memanjat sembari melompat sejauh 5 meter ini sering menjadi subyek eksploitasi. Bukan hanya menjadi olok-olokan antara manusia lantaran kenakalannya mirip dengan manusia, tetapi juga sering menjadi hewan percobaan dalam riset biomedis seperti HIV-AIDS, produksi vaksin polio, kardiovaskuler dan gastoentrik .

Tak heran, banyak monyet ekor panjang diserahkan kepada IAR dengan kondisi yang tak sempurna. Misalnya, ada satu monyet ekor panjang yang kehilangan ekornya lantaran dibabat oleh pemiliknya. Sudah kehilangan organ tubuhnya, monyet yang bisa berenang dengan baik ini juga kehilangan fungsi sosialnya sebagai satwa yang mestinya hidup berkelompok.

Panaitan, habitat anyar 15 monyet ekor panjang

Karena termasuk hewan yang gesit, saat pelepasliaran monyet ekor panjang, relawan IAR harus berjibaku menangkap dan membiusnya berulang kali demi memudahkan proses pemindahan dan menghindari monyet ekor panjang dari stres. Dalam keadaan tertidur, relawan IAR perlahan-lahan mengeluarkan monyet ekor panjang dari kandang rehabilitasi dan dengan leluasa melakukan proses pemeriksaan satwa. Mulai dari menimbang, memasang microchip, hingga mengambil sampel darah untuk memastikan kesehatan monyet.

Relawan membutuhkan sedikitnya lima jam untuk memeriksa dan memindahkan lima belas monyet ekor panjang tersebut dari kandang rehabilitasi ke kandang transport. Sesudahnya, mereka diusung ke Pulau Panaitan, bakal habitat monyet ekor panjang di sebelah barat laut Jawa dekat Ujung Kulon.

Mengapa Pulau Panaitan? Pulau seluas 17.500 hektar tersebut menggudangkan hutan dan beragam hewan liar seperti rusa, babi hutan, ulat phyton, monyet dan juga berbagai macam burung. Nantinya, dengan merekalah monyet ekor panjang membaur. Areal Pulau Panaitan yang luas merupakan alasan utama monyet ekor panjang diangkut ke kawasan ini. Pertimbangan lainnya adalah soal ketersediaan pakan, jauh dari masyarakat, tipe vegetasi yang ditumbuhi pohon-pohon yang sesuai dengan tempat tidur monyet, hingga pertimbangan satwa lain yang menjadi pesaing dan predatornya.

Di Pulau Panaitan, lima belas monyet ekor panjang yang terbagi dalam tiga kelompok ini menempati kandang habituasi selama tiga hari. Disana, mereka belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan anyar sebelum akhirnya benar-benar dilepasliarkan. Maklum, meski sudah menjalani proses rehabilitasi, lepas dari ketergantungan manusia adalah masa yang sulit bagi monyet-monyet ini pada awal pelepasliaran.

Karenanya, saat beberapa monyet ekor panjang kembali ke kamp relawan IAR, mereka harus dihalau agar kembali ke hutan. Meski telah melepasliarkan monyet, pekerjaan relawan IAR tak serta-merta usai. Mereka masih harus melakukan pengamatan selama kurang lebih dua minggu untuk memastikan monyet-monyet ini bisa bertahan hidup di lingkungan barunya.

disadur dari : Kompas, oleh slatem