Selasa, 28 Juli 2009

LIPI Kembangkan Baterai Lithium Keramik untuk Mobil Listrik

Senin, 1 Juni 2009 | 23:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan baterai lithium berbahan keramik padat yang lebih tahan panas untuk digunakan pada kendaraan masa depan berbahan bakar listrik fuel cell.

"Baru LIPI yang sudah berhasil mengembangkan baterai lithium dari komposit material gelas keramik di dunia ini, seperti dari pecahan kaca. Dengan demikian sistem fuel cell tidak lagi memerlukan sistem pendingin," kata Peneliti Material dan Komposit Pusat Penelitian Fisika LIPI, Dr Bambang Prihandoko di Jakarta, Senin (1/6).

Dunia mobil hibrida sampai saat ini, lanjut Bambang, masih menggunakan baterai lithium dari polimer padat yang kekurangannya tidak tahan panas, sementara baterai lithium dari keramik mampu menahan panas sampai 200 derajat Celcius sehingga tidak diperlukan sistem pendingin.

Sel baterai lithium dari keramik dengan 3,3 Volt dan 200 mili Ampere itu nantinya akan diserikan dan diparalelkan sehingga kemampuannya meningkat untuk mengganti listrik fuel cell selama dua jam bagi kecepatan kendaraan 100 km per jam.

Baterai yang dikembangkan pihaknya itu, jelasnya, sudah dalam bentuk prototipe dan sudah dipatenkan sehingga sudah bisa diproduksi secara massal.
Ia mengakui, baterai lithium masih belum diujicobakan pada kendaraan listrik fuel cell buatan LIPI (Marlip) yang masih menggunakan aki konvensional (lead acid).

"Berat baterai lithium hanya seperlima berat aki. Tahun depan akan kita ganti aki di Marlip dengan baterai lithium ini sehingga Marlip menjadi jauh lebih ringan," katanya. Tanpa baterai lithium, urainya, kendaraan listrik dengan sistem fuel cell tidak bekerja sebagaimana mestinya di mana kecepatan konstan, tidak bisa bergerak lebih cepat.

Mobil hibrida yang dilengkapi sistem fuel cell ramah lingkungan, sejak dua dekade belakangan mulai banyak diperkenalkan. Hampir seluruh produsen kendaraan bermotor juga meluncurkan jenis mobil hibrida yang selain menggunakan sumber energi premium, juga menggunakan energi listrik. Saat ini para produsen mobil hibrid sedang berlomba-lomba menciptakan baterai yang aman, bertenaga, tahan lama, ringan, dan cepat diisi ulang sambil memaksimalkan kemampuan baterai lithium-ionnya.

Prinsip kerja sistem fuel cell yakni menggunakan proses elektrokimia di mana hidrogen dan oksigen digunakan sebagai bahan bakar. Komponen utama fuel cell terdiri dari elektrolit berupa lapisan khusus yang diletakkan di antara dua buah elektroda. Proses kimia yang disebut pertukaran ion terjadi di dalam elektrolit ini dan menghasilkan listrik serta air panas, sehingga fuel cell menghasilkan energi listrik tanpa adanya pembakaran dan tidak ada polusi.


WAH
Sumber : Antara, disadur oleh : slatem

Bayi Mengerti Perasaan Anjing

Jumat, 24 Juli 2009 | 16:40 WIB

KOMPAS.com - Penelitian terbaru menemukan bahwa bayi usia 6 bulan dapat mengasosiasikan geraman marah atau salakan riang seekor anjing dengan gambar anjing yang dihadapkannya. dari temuan itu, dapat disimpulkan bahwa bayi dapat menerjemahkan emosi bahkan sebelum ia belajar berbicara.

"Emosi ialah salah satu hal pertama yang diserap bayi dari lingkungan sosial," jelas Ross Flom yang merupakan kepala peneliti. Beliau ialah profesor psikologi dari Brigham Young University, Utah.

Penelitian dilakukan terhadap 128 bayi, masing-masing 32 dari empat kelompok umur (6, 12, 18, dan 24 bulan). Hasilnya, bayi dapat membedakan mana gonggongan anjing yang kasar dan tidak ramah, mana gonggongan yang bersahabat. Tak terkecuali bayi yang usianya baru 6 bulan maupun bayi berusia hingga 2 tahun.

Namun, perbedaan besar terletak pada reaksi. Artinya, bayi yang lebih besar memiliki respon berbeda dari bayi 6 bulan. Bayi 6 bulan akan fokus pada gambar itu, menunjukkan ekspresi wajah galak, dengki saat menemukan gambar. Sementara bayi berumur 1-2 tahun, walau mereka pun dapat memahami emosi anjing di gambar dengan tepat, cenderung lebih acuh.

Dalam riset sebelumnya tentang kecerdasan bayi, disebutkan pula bahwa bayi memperlihatkan tanda-tanda kemampuan membaca ekspresi wajah dan lagu kalimat (intonasi) pada pembicaraan. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi waktu ketika ia mengamati dan merekam sesuatu.


M9-09
Sumber : LIVESCIENCE, disadur oleh : slatem

Sabtu, 18 Juli 2009

Ledakan Bintang 11 Miliar Tahun Lalu Terdeteksi NASA supernova / Artikel Terkait: * Ledakan Bintang Berbentuk Kalung Mutiara * Astronot Berha

Jumat, 10 Juli 2009 | 08:12 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Para astronom mengklaim menemukan ledakan bintang (supernova) terjauh yang pernah terdeteksi, sebuah serpihan bintang raksasa yang terbentuk sekitar 11 miliar tahun silam.

Mengacu pada keyakinan bahwa alam semesta terbentuk 13,7 miliar tahun silam, supernova itu merupakan salah satu fenomena ledakan bintang pertama pada awal-awal penciptaan. Ledakan bintang tertua yang tercatat sebelumnya terjadi sekitar enam miliar tahun lalu.

Temuan terbaru ledakan bintang tersebut dimungkinkan melalui teknik baru, yang memungkinkan para ahli kosmologi (cabang ilmu astronomi yang menyelidiki asal-usul alam semesta) mendeteksi ledakan bintang bermiliar tahun silam. Namun, tidak dijelaskan teknik baru semacam apa yang diterapkan.

Yang jelas, bekas ledakan bintang tersebut terdeteksi setelah para astronom membandingkan banyak gambar yang diambil beberapa tahun lalu dari bagian-bagian langit. Metode perbandingan melalui banyak gambar tersebut memudahkan astronom melihat obyek jagat raya yang berubah cahaya terangnya dari waktu ke waktu.

Ledakan bintang diikuti cahaya yang sangat terang, hingga berjuta-juta kali terangnya dibandingkan dengan terang semula. Saking terangnya, fenomena tersebut dikabarkan dapat terlihat dari galaksi lain yang super jauh.

Supernova sekaligus menandai tamatnya usia bintang yang bersangkutan karena kehabisan bahan bakar. Ketika meledak, bintang mengirimkan gelombang kejut yang bergema di sekitar galaksi.

Ledakan itu mendistribusikan berbagai elemen yang lebih berat daripada oksigen, seperti besi, kalsium, dan silikon, serta memperkaya awan-awan molekuler yang selama berabad lamanya bersama membentuk sistem-sistem bintang baru.

disadur dari : Kompas, oleh : slatem

Kamis, 16 Juli 2009

Pendaratan di Bulan: Akal Sehat Vs Teori Konspirasi


Fenomena alam Halo Bulan disaksikan dari Bandung, Senin (9/2) dini hari
Rabu, 15 Juli 2009 | 04:43 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

KOMPAS.com — Pendaratan di Bulan—yang pertama dilakukan oleh astronot Amerika Serikat, Neil Armstrong, 20 Juli 1969—telah dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pencapaian paling besar dari umat manusia. Namun, kini, setiap kali orang ingin merayakannya, berseliweran artikel yang melecehkannya. Kini memang dikenal istilah ”kontroversi pendaratan di Bulan”, atau malah ”The Great Moon Hoax” atau ”Kebohongan Bulan yang Hebat”.

Menurut Dr Tony Phillips, seorang pendidik sains, di situs Science@NASA, semua bermula ketika stasiun televisi Fox menayangkan program TV berjudul Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?, 15 Juli 2001. Sosok yang tampil dalam tayangan itu menyatakan bahwa teknologi Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) pada tahun 1960-an belum mampu untuk mewujudkan misi pendaratan di Bulan yang sesungguhnya. Namun, karena tidak ingin kalah dalam lomba ruang angkasa dalam konteks Perang Dingin, NASA lalu menghidupkan Program Apollo di studio film.

Dalam skenario ini, langkah pertama Neil Armstrong yang bersejarah di dunia lain, juga pengembaraan dengan kendaraan Bulan, bahkan ayunan golf astronot Al Shepard di Fra Mauro (salah satu tempat di Bulan) semua palsu!

Ya, menurut acara TV Fox di atas, NASA menjadi produser film yang bloon 30 tahun sebelumnya (dari saat acara tersebut ditayangkan tahun 2001). Sebagai contoh, pakar dalam acara Conspiracy Theory menunjuk bahwa dalam foto astronot yang dikirim dari Bulan tidak menampakkan bintang-bintang di langit Bulan yang gelap. Apa yang terjadi? Apakah pembuat film NASA lupa menyalakan konstelasi bintang?

NASA menyebutkan, perkara itu sudah dijawab oleh fotografer bahwa memang sulit untuk memotret satu obyek yang sangat terang dan satu obyek lain yang sangat redup di lembar film yang sama karena memang emulsi film pada umumnya tidak punya cukup ”rentang dinamik” untuk mengakomodasi obyek yang sangat berbeda tingkat terangnya. Astronot dengan pakaian angkasanya jadi obyek yang terang, dan kamera yang diset untuk memotret mereka akan membuat bintang-bintang latar belakang terlalu lemah untuk dilihat.

Lainnya yang dipersoalkan adalah foto astronot yang menancapkan bendera di permukaan Bulan, mengapa benderanya seperti berkibar bergelombang? Mengapa bisa terjadi demikian, padahal tidak ada angin di Bulan? Dijelaskan, tidak semua bendera yang berkibar membutuhkan angin. Itu karena astronotketika menanam tiang benderamemutar-mutarnya agar menancap lebih baik. Itu membuat bendera berkibar.

NASA dalam kaitan tuduhan rekayasa pendaratan Bulan ini mempersilakan siapa pun yang tetap meragukan pendaratan di Bulan untuk mengakses situs-situs BadAstronomy.com dan Moon Hoax, yang merupakan situs independen, tidak disponsori NASA. Astronom Martin Hendry dari Universitas Glasgow dalam edisi khusus ”40 Tahun Pendaratan di Bulan” Knowledge yang diterbitkan BBC juga menguraikan lagi tangkisan terhadap Teori Konspirasi.

Akal sehat

Namun, menurut Tony Phillips, bantahan paling baik atas tuduhan Kepalsuan Bulan ini adalah akal sehat. Ada selusin astronot yang berjalan di Bulan antara 1969 dan 1972. Di antara mereka masih ada yang hidup dan bisa memberikan kesaksian. Mereka juga kembali ke Bumi tidak dengan tangan kosong. Astronot Apollo membawa kembali 382 kg batu Bulan ke Bumi.

Kalau orang meragukan batu ini dari Bulan, Ilmuwan Kepala di Sains dan Eksplorasi Planet di Pusat Ruang Angkasa Johnson David McKay menegaskan bahwa batuan Bulan sangat unik, jauh berbeda dengan batuan Bumi. Pada sampel Bulan tadi, menurut Dr Marc Norman, ahli geologi Bulan di Universitas Tasmania, hampir tidak ada tangkapan air di struktur kristalnya. Selain itu, mineral lempung yang banyak dijumpai di Bumi sama sekali tidak ada di batuan Bulan. Sempat ditemukan partikel kaca segar di batuan Bulan yang dihasilkan dari aktivitas letusan gunung berapi dan tumbukan meteorit lebih dari 3 miliar tahun silam. Adanya air di Bumi dengan cepat memecahkan kaca vulkanik seperti itu hanya dalam tempo beberapa juta tahun.

Mereka yang pernah memegang batu Bulankalau di AS, seperti yang ada di Museum Smithsoniandipastikan akan melihat bahwa batu tersebut berasal dari dunia lain karena batu yang dibawa angkasawan Apollo dipenuhi kawah-kawah kecil dari tumbukan meteoroid, dan itu menurut McKay hanya bisa terjadi pada batuan dari planet (atau benda langit lain) dengan atmosfer tipis atau tanpa atmosfer sama sekali, seperti Bulan.

Dalam jurnal Knowledge, Martin Hendry masih mengemukakan sederet tangkisan terhadap argumen yang diajukan oleh penganut Teori Konspirasi, seperti tentang sudut bayangan dalam foto yang aneh. Lainnya lagi yang dijawab adalah mengapa tidak ada kawah ledakan di bawah modul Bulan (yang disebabkan oleh semburan roket modul pendarat); lalu juga mengapa sabuk radiasi Bumi tidak menyebabkan kematian pada astronot? Yang terakhir, mengapa tidak ada semburan bahan bakar yang tampak ketika modul pendarat lepas landas meninggalkan Bulan? Jawabannya karena modul Bulan menggunakan bahan bakar aerozine 50, campuran antara hidrazin dan dimethylhydrazine tidak simetri yang menghasilkan asap tidak berwarna, meski kalau ada warna sekalipun kemungkinan besar juga tak terlihat dengan latar belakang permukaan Bulan yang disinari Matahari.

Masa depan

Kini, umat manusia kembali berada dalam satu lomba angkasa baru. Dalam lomba sekarang ini, Bulan tak hanya menjadi destinasi akhir, tetapi akan dijadikan sebagai batu lompatan untuk menuju destinasi lebih jauh, misalnya Planet Mars.

Tahun 2004, Presiden (waktu itu) George W Bush mencanangkan Kebijakan Eksplorasi Angkasa yang sasarannya adalah kembali ke Bulan tahun 2020 dan selanjutnya ke Mars. Jepang tahun 2005 juga mencanangkan tekad serupa, pada tahun 2025. Kekuatan antariksa lain yang harus disebut dan juga telah menyatakan tekad mendaratkan warganya di Bulan adalah Rusia, China, dan India, juga tahun 2020.

Dalam perspektif inilah terlihat bagaimana bangsa-bangsa besar dunia bekerja keras mewujudkan impian besar. Ruang angkasa sebagai Perbatasan Terakhir (The Final Frontier) tidak saja menjanjikan prestise, tetapi juga masa depan, dan keyakinan bahwa, dengan bisa hadir di sana, ada banyak perkara di Bumi yang akan bisa ikut dibantu penyelesaiannya.

sumber ; kompas
disadur ulang oleh : slatem

Pendaratan di Bulan: Akal Sehat Vs Teori Konspirasi


Fenomena alam Halo Bulan disaksikan dari Bandung, Senin (9/2) dini hari
Rabu, 15 Juli 2009 | 04:43 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

KOMPAS.com — Pendaratan di Bulan—yang pertama dilakukan oleh astronot Amerika Serikat, Neil Armstrong, 20 Juli 1969—telah dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pencapaian paling besar dari umat manusia. Namun, kini, setiap kali orang ingin merayakannya, berseliweran artikel yang melecehkannya. Kini memang dikenal istilah ”kontroversi pendaratan di Bulan”, atau malah ”The Great Moon Hoax” atau ”Kebohongan Bulan yang Hebat”.

Menurut Dr Tony Phillips, seorang pendidik sains, di situs Science@NASA, semua bermula ketika stasiun televisi Fox menayangkan program TV berjudul Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?, 15 Juli 2001. Sosok yang tampil dalam tayangan itu menyatakan bahwa teknologi Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) pada tahun 1960-an belum mampu untuk mewujudkan misi pendaratan di Bulan yang sesungguhnya. Namun, karena tidak ingin kalah dalam lomba ruang angkasa dalam konteks Perang Dingin, NASA lalu menghidupkan Program Apollo di studio film.

Dalam skenario ini, langkah pertama Neil Armstrong yang bersejarah di dunia lain, juga pengembaraan dengan kendaraan Bulan, bahkan ayunan golf astronot Al Shepard di Fra Mauro (salah satu tempat di Bulan) semua palsu!

Ya, menurut acara TV Fox di atas, NASA menjadi produser film yang bloon 30 tahun sebelumnya (dari saat acara tersebut ditayangkan tahun 2001). Sebagai contoh, pakar dalam acara Conspiracy Theory menunjuk bahwa dalam foto astronot yang dikirim dari Bulan tidak menampakkan bintang-bintang di langit Bulan yang gelap. Apa yang terjadi? Apakah pembuat film NASA lupa menyalakan konstelasi bintang?

NASA menyebutkan, perkara itu sudah dijawab oleh fotografer bahwa memang sulit untuk memotret satu obyek yang sangat terang dan satu obyek lain yang sangat redup di lembar film yang sama karena memang emulsi film pada umumnya tidak punya cukup ”rentang dinamik” untuk mengakomodasi obyek yang sangat berbeda tingkat terangnya. Astronot dengan pakaian angkasanya jadi obyek yang terang, dan kamera yang diset untuk memotret mereka akan membuat bintang-bintang latar belakang terlalu lemah untuk dilihat.

Lainnya yang dipersoalkan adalah foto astronot yang menancapkan bendera di permukaan Bulan, mengapa benderanya seperti berkibar bergelombang? Mengapa bisa terjadi demikian, padahal tidak ada angin di Bulan? Dijelaskan, tidak semua bendera yang berkibar membutuhkan angin. Itu karena astronotketika menanam tiang benderamemutar-mutarnya agar menancap lebih baik. Itu membuat bendera berkibar.

NASA dalam kaitan tuduhan rekayasa pendaratan Bulan ini mempersilakan siapa pun yang tetap meragukan pendaratan di Bulan untuk mengakses situs-situs BadAstronomy.com dan Moon Hoax, yang merupakan situs independen, tidak disponsori NASA. Astronom Martin Hendry dari Universitas Glasgow dalam edisi khusus ”40 Tahun Pendaratan di Bulan” Knowledge yang diterbitkan BBC juga menguraikan lagi tangkisan terhadap Teori Konspirasi.

Akal sehat

Namun, menurut Tony Phillips, bantahan paling baik atas tuduhan Kepalsuan Bulan ini adalah akal sehat. Ada selusin astronot yang berjalan di Bulan antara 1969 dan 1972. Di antara mereka masih ada yang hidup dan bisa memberikan kesaksian. Mereka juga kembali ke Bumi tidak dengan tangan kosong. Astronot Apollo membawa kembali 382 kg batu Bulan ke Bumi.

Kalau orang meragukan batu ini dari Bulan, Ilmuwan Kepala di Sains dan Eksplorasi Planet di Pusat Ruang Angkasa Johnson David McKay menegaskan bahwa batuan Bulan sangat unik, jauh berbeda dengan batuan Bumi. Pada sampel Bulan tadi, menurut Dr Marc Norman, ahli geologi Bulan di Universitas Tasmania, hampir tidak ada tangkapan air di struktur kristalnya. Selain itu, mineral lempung yang banyak dijumpai di Bumi sama sekali tidak ada di batuan Bulan. Sempat ditemukan partikel kaca segar di batuan Bulan yang dihasilkan dari aktivitas letusan gunung berapi dan tumbukan meteorit lebih dari 3 miliar tahun silam. Adanya air di Bumi dengan cepat memecahkan kaca vulkanik seperti itu hanya dalam tempo beberapa juta tahun.

Mereka yang pernah memegang batu Bulankalau di AS, seperti yang ada di Museum Smithsoniandipastikan akan melihat bahwa batu tersebut berasal dari dunia lain karena batu yang dibawa angkasawan Apollo dipenuhi kawah-kawah kecil dari tumbukan meteoroid, dan itu menurut McKay hanya bisa terjadi pada batuan dari planet (atau benda langit lain) dengan atmosfer tipis atau tanpa atmosfer sama sekali, seperti Bulan.

Dalam jurnal Knowledge, Martin Hendry masih mengemukakan sederet tangkisan terhadap argumen yang diajukan oleh penganut Teori Konspirasi, seperti tentang sudut bayangan dalam foto yang aneh. Lainnya lagi yang dijawab adalah mengapa tidak ada kawah ledakan di bawah modul Bulan (yang disebabkan oleh semburan roket modul pendarat); lalu juga mengapa sabuk radiasi Bumi tidak menyebabkan kematian pada astronot? Yang terakhir, mengapa tidak ada semburan bahan bakar yang tampak ketika modul pendarat lepas landas meninggalkan Bulan? Jawabannya karena modul Bulan menggunakan bahan bakar aerozine 50, campuran antara hidrazin dan dimethylhydrazine tidak simetri yang menghasilkan asap tidak berwarna, meski kalau ada warna sekalipun kemungkinan besar juga tak terlihat dengan latar belakang permukaan Bulan yang disinari Matahari.

Masa depan

Kini, umat manusia kembali berada dalam satu lomba angkasa baru. Dalam lomba sekarang ini, Bulan tak hanya menjadi destinasi akhir, tetapi akan dijadikan sebagai batu lompatan untuk menuju destinasi lebih jauh, misalnya Planet Mars.

Tahun 2004, Presiden (waktu itu) George W Bush mencanangkan Kebijakan Eksplorasi Angkasa yang sasarannya adalah kembali ke Bulan tahun 2020 dan selanjutnya ke Mars. Jepang tahun 2005 juga mencanangkan tekad serupa, pada tahun 2025. Kekuatan antariksa lain yang harus disebut dan juga telah menyatakan tekad mendaratkan warganya di Bulan adalah Rusia, China, dan India, juga tahun 2020.

Dalam perspektif inilah terlihat bagaimana bangsa-bangsa besar dunia bekerja keras mewujudkan impian besar. Ruang angkasa sebagai Perbatasan Terakhir (The Final Frontier) tidak saja menjanjikan prestise, tetapi juga masa depan, dan keyakinan bahwa, dengan bisa hadir di sana, ada banyak perkara di Bumi yang akan bisa ikut dibantu penyelesaiannya.



Sumber : Kompas Cetak
disadur oleh : slatem