Selasa, 11 November 2008

Makam Sang Dukun

Arkeolog Israel menemukan kuburan shaman tertua, dari 12.000 tahun lampau.

YERUSALEM -- Entah apa maksudnya, tapi makam shaman Natufian yang satu ini amat berbeda dengan makam lainnya. Bila biasanya di atas makam tersebar bunga wangi beraneka warna, justru makam dukun kuno ini dihiasi puluhan cangkang, potongan tubuh binatang, bahkan potongan kaki manusia.

Kerangka dukun Natufian berusia 12.000 tahun ini ditemukan di Israel utara oleh arkeolog dari Hebrew University, Yerusalem. Sang arkeolog menemukan beragam bentuk persembahan yang tidak biasa di dalam makam perempuan lanjut usia itu, termasuk 50 tempurung kura-kura utuh dan tulang pelvis leopard.

Kuburan itu ditemukan saat tim arkeolog melakukan sebuah penggalian di dalam Gua Hilazon Tachtit di situs Natufian di Galilea barat, dua tahun lalu. Berdasarkan catatan arkeologi, makam dukun penyembuh atau shaman itu diduga adalah salah satu yang tertua, sekaligus satu-satunya kuburan shaman di seluruh kawasan tersebut.

Pemimpin penggalian, Dr Leore Grosman dari Institute of Archeology di Hebrew University, mengatakan temuan itu menunjukkan ritual pemakaman yang unik dan kaya detail. Berbagai persembahan serta metode yang digunakan untuk membangun dan menutup kuburan itu menunjukkan bahwa dukun perempuan tersebut memiliki posisi yang amat terhormat di komunitasnya.

Dalam masyarakat tradisional, dukun dianggap mampu menghubungkan komunikasi antara manusia dan dunia roh serta mempunyai kekuatan magis dalam menyembuhkan penyakit. Ketika seorang dukun meninggal, para pengikutnya akan menguburnya dengan ritual dan pernak-pernik unik untuk menandai status khusus si dukun.

Dalam laporan yang dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences, awal November, Grosman dan timnya mengungkapkan berbagai potongan tubuh binatang yang digunakan sebagai persembahan. Sebenarnya, persembahan semacam itu jarang ditemukan dalam artefak Natufian. Selain 50 tempurung kura-kura dan tulang pelvis leopard, ditemukan pula ujung sayap elang emas, buntut sapi, tengkorak dua cerpelai, dan kaki depan babi hutan yang diletakkan sejajar dengan tulang lengan atas kiri dukun perempuan itu.

Persembahan itu jelas tidak wajar karena leopard (Panthera pardus) adalah binatang yang sangat jarang ditemukan di kawasan tersebut. Tulang yang tidak remuk juga boleh dibilang di luar kebiasaan masyarakat Natufian. Sebab, biasanya mereka mematahkan tulang untuk mengambil lemaknya.

Satu kaki manusia dewasa yang ukurannya lebih besar dibanding kaki sang dukun juga ditemukan dalam lubang itu. Lubang makam itu tampaknya juga dipersiapkan secara khusus. Hal itu terlihat dari plester lumpur yang dioleskan ke dinding makam. Plester lumpur itu juga dilapisi lagi dengan lempengan batu gamping yang ditekan ke dalam dinding untuk menghasilkan fondasi kuat. Lempengan batu besar itu juga disusun di lantai makam.

Grosman percaya kuburan itu sesuai dengan perkiraannya tentang makam seorang shaman. "Kuburan shaman kerap merefleksikan peran mereka semasa hidup seperti yang terlihat pada binatang tertentu dan sejumlah barang yang digunakan dalam perangkat penyembuhan," kata Grosman. "Tampaknya perempuan itu dianggap memiliki hubungan erat dengan roh binatang yang ada di sekelilingnya."

Binatang yang paling menonjol tentu 50 cangkang kura-kura utuh yang dikuburkan bersama dukun Natufian itu. Bagian dalam kura-kura itu tampaknya telah dimakan dalam sebuah upacara pemakaman karena bagian perutnya kelihatannya dibuka dengan menggunakan batu palu. Tingginya jumlah tulang kaki kura-kura yang ditemukan mengindikasikan bahwa sebagian besar sisa binatang itu dilempar ke dalam makam bersama tempurungnya setelah dimakan.

Penemuan tulang kaki juga mengindikasikan bahwa semua kura-kura, tak hanya cangkangnya, dibawa ke dalam gua khusus untuk upacara pemakaman. Pengumpulan 50 kura-kura hidup yang akan digunakan dalam pemakaman itu juga memerlukan persiapan yang besar karena reptil tersebut adalah binatang soliter. Kemungkinan lainnya, kura-kura itu sudah lama dikumpulkan dan dipelihara beberapa saat menjelang pemakaman.

Makam unik sang shaman amat berbeda dengan kuburan lain yang ditemukan di Natufian atau periode Paleolithic lainnya. "Jelas terlihat banyaknya waktu dan energi yang diinvestasikan dalam mempersiapkan, mengatur, dan menutup kuburan itu," kata Grosman. Rumitnya upacara pemakaman perempuan terhormat itu juga dipersulit dengan perlakuan khusus untuk mayatnya.

Grosman sangat yakin bahwa perempuan di dalam makam itu berprofesi sebagai seorang dukun penyembuh. "Meski memiliki cacat tubuh bukanlah karakteristik umum shaman, tapi dalam banyak budaya seseorang yang menderita cacat fisik kerap dianggap memiliki kekuatan penyembuhan dan spiritual," ujar Grosman.

Benda-benda yang dikuburkan bersamanya juga menegaskan dugaan tersebut karena potongan binatang biasa ditemukan dalam makam seorang shaman. Sebab, binatang memainkan peran simbolis dalam budaya spiritual manusia di seluruh dunia sampai hari ini.

Grosman, yang dalam proses penggalian itu didampingi Anna Belfer Cohen dan Natalie D Munro dari Department of Anthropology, University of Connecticut, menyatakan bahwa penemuan tersebut amat penting karena dukun tercatat secara universal, baik dalam kelompok masyarakat pemburu dan pengumpul makanan maupun petani. Meski demikian, mereka jarang terdokumentasi dalam catatan arkeologi. Bahkan tak satu pun dukun dari masa Paleolithic dilaporkan berasal dari Asia Tenggara. TJANDRA DEWI | SCIENCEDAILY | PNAS

Pemukim Pertama

Kultur Natufian adalah nama yang diberikan kepada kelompok masyarakat pemburu dan pengumpul yang bermukim di kawasan Levant, pada 12.500 dan 10.200 tahun lampau. Mereka dikenal sebagai kelompok manusia pertama yang mengalami perubahan sosioekonomi yang diasosiasikan dengan dimulainya hidup menetap di satu tempat dan pergeseran dari gaya hidup berburu menjadi bertani.

Penggalian situs Gua Hilazon Tachtit dari 12.000 tahun lampau itu telah menguak kesempatan untuk menyelidiki pergeseran ideologi yang terjadi bersamaan dengan perubahan sosioekonomi. Kultur ini ditandai dengan perubahan cara pemakaman manusia. Lebih dari 400 individu ditemukan dalam kompleks makam Natufian yang terorganisasi secara rapi.

Praktek pemakaman baru itu diperkirakan dipengaruhi oleh perubahan sosioekonomi secara dramatis yang diasosiasikan dengan peran utama budaya Natufian dalam transisi dari pemburu menjadi petani. "Natufian adalah masyarakat pertama yang mengadopsi gaya hidup menetap," kata Leore Grosman, arkeolog yang memimpin penggalian itu.

Ilmuwan di Department of Physics of Complex System, Weizmann Institute of Science, Israel, itu menyatakan bahwa pergeseran tersebut telah menyebabkan orang Natufian mengalami reorganisasi sosioekonomi dan inovasi yang mutlak dibutuhkan oleh sekelompok orang yang hidup bersama dalam periode panjang. Salah satunya, kegiatan sosial yang makin meningkat.

Grosman menduga makam shaman itu dapat menunjukkan pergeseran ideologi yang terjadi karena transisi menjadi masyarakat petani. "Agar orang bisa berbagi tempat tinggal dan kehidupan sehari-hari dengan orang di luar keluarganya dalam waktu lama, dibutuhkan sistem kepercayaan sebagai mekanisme regulator sosial yang baru," katanya.

Di sinilah penemuan makam shaman perempuan itu berperan penting. Praktek pemakaman memberikan data tak terbantahkan untuk mengetahui kepercayaan prasejarah. Sayangnya, makam dari periode Paleolithic jarang diobservasi. "Makam ini menggambarkan sejumlah atribut yang di kemudian hari menjadi pusat arena spiritual kultur manusia di seluruh dunia," kata Grosman. PNAS

Ritual Penghormatan

Tubuh shaman berjenis kelamin perempuan ini dikuburkan dalam posisi yang tidak lazim. Dia dibaringkan miring dengan tulang punggung, tulang pinggul (pelvis), dan paha kanan bersentuhan dengan cekungan dinding bagian selatan pada lubang makam berbentuk bujur bulat. Kedua kakinya terbuka dan terlipat ke dalam bagian lututnya.

Menurut Dr Grosman, pada saat pemakaman, 10 batu besar diletakkan langsung di atas kepala, pinggul, dan lengan mayat. Ketika mayat mulai membusuk, tekanan dari berat batu menyebabkan beberapa bagian kerangka terlepas dari sendinya, misalnya tulang pinggul terpisah dari tulang belakang.

Posisi tubuh yang lain dari biasanya serta peletakan mayat dalam lubang makam oval dan ditimbuni batu itu menimbulkan beragam spekulasi. Dr Grosman menduga cara penguburan itu dilakukan untuk melindungi mayat agar tidak digali dan dimakan binatang liar. "Atau karena komunitasnya berusaha menjaga agar dukun dan roh tetap berada dalam kuburnya," ujar Grosman.

Analisis terhadap tulang kerangka menunjukkan bahwa shaman itu berusia 45 tahun ketika mengembuskan napas terakhirnya. Postur badannya mungil dan memiliki cacat tulang punggung yang membuat dia tak dapat berjalan sempurna karena harus menyeret kakinya. SCIENCEDAILY | PNAS

- Lokasi situs Gua Hilazon Tachtit dan kompleks pemakaman di pusat daerah Natufian.

- Lokasi penggalian

-Struktur A

-Struktur B

-Kuburan

-Lubang pemakaman

Rekonstruksi artistik makam shaman

-tempurung kura-kura

-kaki depan babi hutan liar

-tulang sayap elang

-tengkorak sejenis musang

-pecahan mangkuk basalt

-buntut sapi liar

-kaki manusia lengkap dengan sendinya

Bagian tubuh binatang yang ditemukan dalam makam shaman

A. Tulang ekor sapi auroch (Bos primigenius)

B. tengkorak utuh cerpelai marten (Martes foina)

C. Tempurung atau carapace kura-kura Mediterania (Testudo graeca) dan contoh plastron, cangkang bagian bawah, yang berulang kali rusak di tempat yang sama.

D. Tulang ujung sayap elang emas (Aquila chrysaetos)

E. Kaki depan babi hutan (Sus scrofa).

diambil dari : koran tempo

Minggu, 02 November 2008

Menimba Ilmu Dunia-Akhirat

Sejumlah sekolah dakwah tak sekadar memberikan ilmu keagamaan. Para muridnya diberi pula wawasan ilmu di bidang lainnya, sehingga bisa menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.

Tak banyak ustadzah seperti Ibu Atikah. Perempuan paruh baya itu memiliki banyak majelis taklim, yang tersebar di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Selain sibuk mengisi pengajian di sejumlah majelis taklim itu, ia juga mesti terus menambah ilmu keagamaan untuk memperluas wawasan rohani jemaah pengajiannya. Itu sebabnya, ia mau repot-repot meluangkan tiga hari dalam sepekan belajar ilmu dakwah.

Ibu Atikah memilih belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosat Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan. Jadilah dia berbaur dengan mahasiswa perguruan tinggi dakwah itu, yang sebagian besar sudah bekerja atau sudah menjadi pembimbing rohani di majelis taklim seperti dia. Ada pula beberapa yang baru lulus sekolah menengah atas atau menamatkan pendidikan di pesantren.

Motivasi mereka masuk sekolah dakwah boleh dibilang hampir sama: ingin menambah wawasan di bidang ilmu keagamaan. Paling tidak, buat diri mereka sendiri, seperti Maulfi Sanaullah. Lulusan sebuah pesantren di Sumenep, Madura, Jawa Timur, itu merasa perlu menimba ilmu agama karena ilmunya merasa masih kurang. Menurut dia, tujuan menimba ilmu di sana untuk menyeimbangkan cita-citanya menjadi pengusaha. “Selain ilmu duniawi, rohani juga perlu kan?” katanya.

Maulfi juga memilih belajar di sekolah tinggi itu karena ada tambahan ilmu di bidang lainnya. Mahasiswa yang kini duduk di semester tujuh itu merasakan betapa wawasan ilmu bisnisnya bertambah setelah beberapa bulan menjalani kuliah kerja nyata di perkebunan jamur di Bekasi, Jawa Barat. Sejak itu pula ia pun tertarik menjadi pengusaha jamur. “Lulus dari sini, ilmu rohani saya bertambah, saya juga mendapat wawasan bisnis dan bisa mengajak masyarakat berkebun jamur,” ujarnya, semringah.

Memang, selama ini sekolah dakwah dianggap hanya mengajarkan dakwah dan ilmu agama. Stereotipe itu diakui Ketua Sekolah Tinggi Dakwah Al-Hikmah Ahmad Rofi Syamsuri. Menurut dia, anggapan itulah yang membuat sekolah dakwah stagnan dan jarang peminatnya. “Malah sejak 1990, yang masuk ke sekolahnya cenderung berkurang,” katanya. “Menurunnya peminat sekolah dakwah terjadi terutama sejak krisis ekonomi 1997.”

Malah, Syamsuri melanjutkan, saat ini banyak sekolah dakwah yang sudah tutup. Sekarang, punya murid 20 orang dalam satu kelas saja sudah bagus. “Kondisi itu umumnya terjadi di luar Jawa, meski di Jakarta juga ada yang mengalami hal itu,” ia menjelaskan.

Masih kata Syamsuri, kondisi itu masih terbilang wajar. Meski krisis datang silih berganti mendera Indonesia, sekolah dakwah tak akan benar-benar hilang. “Biar bagaimanapun, orang Indonesia itu religius,” ujarnya.

Dari sekian sekolah dakwah yang bertahan, menurut Syamsuri, akhirnya menjadi tempat memperdalam ilmu agama untuk diri sendiri, keluarga, atau lingkungan kerja. Makanya, kelas di sekolah dakwah Al-Hikmah dipenuhi orang-orang yang sudah bekerja atau sudah menjadi tokoh di majelis taklim dan seksi bidang rohani di kantornya. “Mungkin untuk mencari ketenangan jiwa saat bekerja,” katanya.

Boleh dibilang, mencari ketenangan dan keseimbangan hidup dunia-akhirat itulah yang acap kali menjadi alasan mereka yang sudah bekerja memperdalam ilmu agama di sekolah dakwah. Ristono, misalnya, masuk Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Manar, Utan Kayu, Jakarta Timur, karena merasa ilmu agamanya masih kurang buat dirinya. Karyawan sebuah perusahaan swasta itu akan menghabiskan waktu sekitar empat tahun menimba ilmu di sekolah itu. “Ya, ingin dapat ilmu dunia-akhiratlah,” ujarnya, tersenyum..

Menurut Direktur Al-Manar Abdul Muyassir, lulusan sekolahnya bisa menjadi pengajar rohani atau pengurus bidang rohani di tempat mereka bekerja. Apalagi, belakangan ini banyak perusahaan yang menginginkan membina seksi rohaninya secara serius. Itu terbukti dengan lembaganya yang menjalin kerja sama dengan sekitar 50 perusahaan, antara lain, Astra dan United Tractor.

Kenyataan itu, tutur Muyassir, menunjukkan bukannya orang malas belajar agama, melainkan yang mengajarnya memang belum cukup. Apalagi di DKI Jakarta hanya ada segelintir orang yang bekerja di pemerintahan bisa memberikan siraman rohani. “Saya berharap alumni sekolah kami bisa mengisi itu nantinya,” katanya.

Untuk itu, Muyassir melanjutkan, sekolahnya tak hanya belajar teori di kelas. Para muridnya juga belajar praktek di lapangan, misalnya mengajarkan siswa bisa tepat waktu menjalankan salat lima waktu di tengah ritme kerja mereka yang sibuk. “Esensinya adalah niat untuk salat tepat waktu, meskipun prakteknya sering kali tak memungkinkan,” katanya.

diambil dari YOPHIANDI KURNIAWAN-koran tempo